Ini kisah nyata dari desa di pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Kecamatan Paramasan Kabupaten Banjar. Kisah ini menyangkut kehidupan sosial dan pendidikan di desa yang terkenal kaya akan sumber daya alam.
Desa ini terletak di perbatasan Kabupaten Banjar dan Tanahbumbu Kalsel. Karena kekayaan alamnya yang masih melimpah, wilayah ini diperebutkan dua kabupaten ini selama beberapa tahun terakhir. Kedua daerah yang berseteru ini sama-sama berdalih, bahwa sikap mereka mempertahankan daerah perbatasan ini karena ingin memberikan layanan kepada masyarakat. Dengan argumennya masing-masing, kasus ini sudah masuk ke ranah hukum hingga ke MK.
Dari penelusuran, desa ini terkenal kaya biji besi, mangan, emas dan sejumlah bahan tambang lain seperti batu bara. Yang jelas, apapun dalih dua kabupaten ini, kehidupan masyarakat desa setempat masih jauh dari kata layak.
* * *
MESKI hidup di lingkungan sosial masyarakat yang cenderung menikah pada usia dini, dua siswi SDN Paramasan Bawah 3, Rufiana (14) dan Samkuriah (14) teguh pada pendirian mereka. Keduanya bertekad mengenyam pendidikan selagi masih ada kesempatan.
Pada Jumat pekan ketiga di bulan November, ketika embun tipis masih menyelimuti jalan tak beraspal yang merupakan bagian lereng Pegunungan Meratus, dua gadis belia warga Dusun Danau Huling ini, bergegas berangkat ke sekolah. Keduanya adalah murid perempuan terakhir di kelas 6 sekolah eks Kodeco yang dulunya bernama SD Mekar Sari. Mereka harus menempuh perjalanan sejauh delapan kilometer dari rumah sampai ke
sekolah yang terletak di Dusun Emil.
Memang ada sekolah di dusun mereka, namanya SDN Paramasan Bawah 4. Namun, karena keterbatasan bangunan fisik, infrastruktur dan SDM pengajar, sekolah ini hanya melayani sampai tingkat kelas 4. Selebihnya siswa harus melanjutkan ke SDN Paramasan Bawah 3. Berdasarkan administrasi di Kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar, Dusun Danau Huling dan Dusun Emil adalah bagian dari Desa Paramasan Bawah. Namun saat ini, kawasan itu masuk wilayah sengketa tapal batas antara Pemkab Banjar dengan Tanbu.
Perjalanan dari dusun mereka sampai ke sekolah hanya dua kilometer yang beraspal. Selebihnya adalah jalan tanah dengan tanjakan-tanjakan. Sehabis diguyur hujan, jalan akan menjadi sangat licin. Jika hujan turun sangat deras, jalan terputus, tidak bisa
dilewati. "Kalau jalannya terputus, terpaksa tidak sekolah," ujar Rufiana diamini Samkuriah.
Mungkin hanya faktor alam itulah yang bisa membuat kedua gadis keturunan Dayak Paramasan ini tidak turun sekolah. Semangat mereka untuk tetap sekolah terlalu besar jika hanya dihadapkan dengan kondisi sosial masyarakat. Tiga orang siswi kelas 6 SDN Paramasan 3 lainnya baru saja berhenti sekolah. Ketiganya memilih menerima lamaran pria yang mengajaknya menikah. Sementara Rufiana dan Samkuriah mencoba bertahan di sekolah yang serba kekurangan dalam hal fasilitas dan tenaga pengajar itu.
Seolah bertolak belakang dengan sikap Lutfiana Ulfa (12) yang memilih berhenti dari bangku sekolah untuk menikah dengan pengusaha kaya raya asal Semarang, Syeh Puji, Rufiana dan Samkuriah tidak ingin menyia-nyiakan masa sekolah mereka.
"Kawin bisa aja kaina. Tapi sakulah mun kada wayah ini pasti kada tagawi lagi (Menikah bisa saja nanti. Tapi sekolah kalau tidak sekarang pasti tidak dikerjakan lagi, Red)," ujar Rufiana.
Bukan karena tidak ada godaan ke arah pernikahan. Sudah beberapa orang pria mengajak kedua gadis belia ini atau melalui orangtua mereka untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Setidaknya, untuk saat ini mereka tetap kukuh ingin menikmati dunia pendidikan selagi masih ada kesempatan. Tidak takut menjadi perawan tua? "Banyak ai yang melamar. Tapi masih anum jua umur. Kawa aja kaina-kaina kawinnya. Soalnya amun sudah kawin kada kawa lagi sakulah. (Sudah banyak yang melamar. Tapi umur masih muda. Bisa saja nanti-nanti menikahnya. Sebab kalau sudah menikah tidak bisa
lagi sekolah, Red)," timpal Samkuriah.
Sampai kapan mereka akan berusaha tetap bersekolah? "Kahandak sampai SMA. Biar kawa jua begawi kantoran. (Keinginan sampai SMA. Supaya bisa kerja kantoran)," ucap Samkuriah disambut anggukan Rufiana.
Begitulah tantangan para tenaga pendidikan di pedalaman untuk mencerdaskan anak bangsa. Kondisi sosial di masyarakat pelosok masih kental dengan menikah di usia dini. "Kita sudah coba memberi pengertian kepada anak dan orangtua mereka. Tapi toh tetap saja bangku sekolah yang ditinggalkan karena kondisi sosial masyarakatnya sudah tertanam seperti itu," ujar Plh Kepala SDN Paramasan 3, Saripudin.
Tidak hanya masalah menikah di usia dini. Kegiatan belajar mengajar di kebanyakan sekolah di Pegunungan Meratus sedikit terhambat ketika musim baugal(tanam padi, Red) tiba. Lho? "Iya seperti apa yang kita lihat sekarang. Ruang kelas kosong. Saat musim baugal seperti sekarang banyak murid tidak hadir. Sebab mereka harus membantu orangtua menanam padi di lereng-lereng bukit," ucapnya.
Memang, bilik-bilik kelas yang ada tampak hanya diisi beberapa orang murid. Banyak bangku yang kosong. Pada hari itu, dari 39 orang jumlah total murid sekolah yang menjadi rebutan kedua kabupaten itu hanya 12 orang yang hadir. "Kesadaran masyarakat di sini akan pentingnya pendidikan masih rendah. Di sini kami hanya tiga orang pengajar. Sehingga pelayanan kami kepada murid menjadi terbatas di sekolah," kata Guru Honor SDN Paramasan Bawah 3, Masrani. (aris mardiono/BPOST)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar