Ketika masih kecil, saya sering sekali mengamati kehidupan petani. Kala itu, karena hidup di desa, tentu saja tidak ada yang istimewa dengan kehidupan yang begitu dekat dengan alam itu. Mereka biasa pergi ke sawah habis sholat subuh, istirahat kerja menjelang sholat dhuhur dan mulai kerja lagi hingga habis ashar. Setelah lama meninggalkan kehidupan damai ala perdesaan ini, rasa kangen sering menghampiri.
Ternyata, rutinitas hidup terjadi di mana saja, hanya beda wajahnya saja. Yang dikejar pun sama saja, tapi beda rasanya.Banyak orang Jakarta pergi bekerja saat anak-anaknya belum bangun tidur dan baru pulang ke rumah setelah anak-anaknya sudah tidur. Masih mending kalau apa yang dihasilkannya cukup untuk memenuhi kehidupan keluarga, terkadang meski telah bekerja keras, tapi hasilnya tidak pernah cukup. Selalu saja kurang, dan tentu saja masih banyak hutang.
Pada saat tengkulak belum masuk ke desa, para petani melakukan pekerjaannya dengan penuh sukarela, penuh sukacita. Sambil bersenandung damai, mereka pergi ke sawah. Begitu pula saat pulang, mereka bersenandung riang, apalagi melihat hasil padinya yang bagus.
Saat itu air sungai masih jernih, belum bercampur kotoran teknologi, sampah pestisida. Demi merekayasa hasil alam, orang-orang kota memperkosa kehidupan, manusia menciptakan obat-obatan dan pupuk pertanian untuk memacu pertumbuhan tanaman. Padi yang seharusnya menghasilkan buah satu kuintal dipaksa beranak pinak hingga menghasilkan tiga kuintal. Ketergantungan terjadi. Saat pestisida kosong petani menjadi pusing, saat pupuk naik harganya, petani putus asa dan menjadi stress.
Tanah pertanian pun menjadi tak mau kompromi. Karena dijejali racun, dia tidak mau berproduksi, akhirnya mati. Agar mau bereproduksi, tanah-tanah ini dijejali pupuk yang semakin banyak lagi. Tanpa pernah disadari, manusia pun akhirnya makan racun hasil karyanya sendiri. Residu yang menahun di dalam darah, ginjal, syaraf dan otak, telah mengubah manusia menjadi monster. Mudah stress, mudah putus asa dan tidak sabaran. Terlebih lagi, pikiran manusia menjadi tidak jernih lagi.
Ketika para tengkulak datang, ketika para tukang kredit menawarkan beragam barang dari kota, kehidupan petani pun cepat berubah. Kerja yang awalnya diniatkan ikhlas untuk penghidupan, menanam pohon kehidupan dan dipanen untuk kelangsungan hidup manusia, harus berubah menjadi nafsu. Petani menjadi serakah, banyak pula yang kebingungan karena tidak bisa menghadapi kenyataan.
Tidak ada habisnya memang mengejar keinginan manusia. Semakin dikejar, keinginan dan kebutuhan manusia semakin jauh berlari di depan. Semakin didekati, semakin menjauh. Tapi jika tidak dikejar, kehidupan menjadi sangat sulit. Selalu tertinggal oleh jaman, digilas oleh perubahan.
Gede Prama menyebut hal itu sebagai mengejar kehidupan keluar, material. Manusia kian tergila-gila mengejar kehidupan keluar, tapi tidak pernah mau hidup kedalam. Akhirnya, manusia terus menerus ketinggalan. Mengejar hidup keluar itu selalu dihantui oleh ketakutan. Yang miskin takut tak bisa makan, yang sudah kaya dan berhasil mengejar harta juga takut bangkrut, takut dirampok, dan takut oleh ketidakpastian.
Saya jadi teringat seorang petani tua di desa. Hidupnya sederhana saja, tapi kebahagiaan selalu menghampirinya. Dia tidak pernah merasa kekurangan. Menurut dia, keinginan manusia tidak akan pernah bisa dipuaskan. Hanya saja, dia merasa gagal mendidik anaknya. Kini, dua anaknya telah kaya raya dan tinggal di kota. Rumahnya di desa juga telah disulap oleh anaknya menjadi sangat megah.
Ada satu hal yang terus membuatnya gelisah, hubungan dengan anaknya hanya sebatas materi saja. Setiap ada permintaan langsung dipenuhi dalam sekejap. Tapi pada akhirnya, dia tidak pernah bisa menikmati kemewahan yang dilimpahkan oleh anaknya. Dia hanya berharap, anaknya berhenti mengejar harta benda dan mengisi kehidupannya dengan santapan religi. Dia merasa anaknya telah kaya, tapi kehidupannya kering.
Kehidupan memang tidak akan pernah berhenti dikejar. Dia selalu bermetamorfosa menjadi bentuk-bentuk yang lain. Satu-satunya cara adalah berhenti mengejar. Hanya diperlukan satu kata, CUKUP. Ketika kata cukup diungkapkan dari lubuk hati terdalam, maka yang muncul adalah rasa syukur. Ketika rasa syukur telah terucap, berarti semua keinginan, semua kebutuhan telah tercapai.
Satu langkah berikutnya adalah, berbagi. Bila telah berbagi, seseorang baru bisa disebut kaya. Orang kaya belum bisa dikatakan kaya bila masih mencari, masih meminta. Orang sejahtera adalah orang yang berhenti mencari kehidupan keluar, dan kembali menekuni hidup kedalam. Jika orang telah mencari kehidupan ke dalam, ketenangan yang akan selalu menemani. Ketakutan akan hilang dengan sendirinya.
Kalau sudah begini, satu petuah bijak perlu direnungkan: Saat masih muda, semua waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengejar harta, saat sudah tua, tumpukan harta habis untuk biaya berobat, stroke, jantung. Lalu, kapan menikmati hidup yang sebenarnya.
Salam,
Kompleks Buncit Banjarmasin
Sabtu, 24 November 2007
mantab!! menyejukkan hati
BalasHapusblognya tak link ya... boleh?
6383
matur nuwun Pak GeBe sampun mampir... Maturnuwun sampun maos lan ninggal komentar. Menawi badeh dipun link, monggo kemawon...
BalasHapus