Kini, banyak sekali pejabat dan mantan pejabat yang harus berurusan dengan polisi. Hal ini, telah memunculkan penyakit baru, sebuah syndrome. Syndrome kekuasaan. Post power sindrome ini bahkan telah menjadi penyakit mematikan yang menghantui setiap pejabat saat ini. Bukan karena apa-apa, kebanyakan aparat kepolisian saat ini memang hanya berani menciduk mantan pejabat saja, seperti mantan bupati, mantan anggota atau ketua dewan, atau mantan gubernur.
Akibatnya, stroke dan depresi menjadi penyakit yang kerap menghinggapi mantan pejabat yang pada akhirnya harus berurusan dengan pengadilan. Tak heran, banyak mantan pejabat yang harus mangkir dari panggilan kejaksaan atau kepolisian dengan alasan sedang sakit. Atau bahkan, mangkir dari sidang karena sedang sakit mendadak.
Bahkan, beberapa penguasa korup dengan sengaja mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya pada saat masih menjabat. Tujuannya, agar bisa membayar pengacara kondang saat lengser dari jabatannya. Saat itulah mereka bertaruh. Bila lolos, mereka selamat sambil menikmati sisa harta hasil korupsi. Bila tidak, tentu saja mereka harus tidur di lantai penjara yang dingin dan pengap.
Masih lekang dalam ingatan, kasus yang menimpa mantan Gubernur Kalsel, Sjachriel Darham. Pada saat masih menjabat, tentu saja dia dielu-elukan anak buahnya, pengusaha yang ingin mendapat proyek, bahkan polisi dan aparat penegak hukum lainnya. Tapi, baru beberapa saat lengser dari jabatannya, dua kasus korupsi langsung dibelitkan kepadanya. Dan, dia pun harus hidup di balik terali besi.
Juga mantan Ketua Dewan Sleman, Jarot Subiyantoro. Saat masih menjabat, banyak polisi, tentara, preman hingga pengusaha yang berebut untuk bisa dekat dengannya. Tentu saja dengan maksud-maksud tertentu. Tapi begitu lengser dari kursi nomor satu di Dewan Sleman, dia harus mendekam di balik bui selama beberapa bulan karena kesandung kepemilikan ineks.
Banyaknya kasus yang menjerat para pejabat, tentu membuat pertanyaan banyak orang. Bukankah jabatan itu amanah. Lalu kenapa setelah diberi amanah disalahgunakan? Kenapa pula penegak hukum baru memproses setelah pejabat lengser? Kenapa beberapa pejabat lolos dari jerat hukum dan pejabat lainnya harus mendekam di bui?
Kalau tahu jabatan adalah amanah, mestinya pejabat berhati-hati dan bekerja keras melayani pemberi amanah, rakyat. Kalau merasa tidak mampu mengemban amanah, kata ustadz Ahmad, lebih baik menolak saat akan diberi amanah itu. Dengan demikian, akan selamat dunia akhirat. Karena, menjadi seorang pemimpin, tanggungjawab, tantangan dan godaannya sangat berat.
Tapi yang terjadi sebaliknya, banyak orang berebut kursi bupati, gubernur atau presiden. Meskipun sebetulnya mereka tidak mampu mengemban jabatan itu. Bahkan, untuk menduduki jabatan-jabatan itu, seseorang harus keluar uang hingga miliaran rupiah. Atau mengorbankan keluarga, aqidah serta harga diri.
Akibatnya, karena tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, banyak masalah timbul. Yang dipimpin protes karena tidak puas. Masalah terbengkelai. Sang pejabat jadi korup karena harus mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat kampanye. Dan sederet masalah pelik lain.
Lucunya, meski dinyatakan tidak becus, hingga dibelit masalah, masih banyak pejabat yang mencoba mempertahankan jabatannya. Segala macam cara ditempuh agar jabatan itu tidak lepas darinya. Mulai dari tebar pesona hingga meminta bantuan paranormal.
Soal jabatan, saya jadi teringat kepada ibu saya di pelosok desa sana. Memulai kerja sebagai seorang guru di sebuah SD terpencil dengan gaji hanya beberapa ribu rupiah saat itu, beliau terus mengabdikan dirinya. Gali lobang tutup lobang adalah hal yang teramat biasa. Jangankan untuk korupsi, untuk berbuat curang saja kecil kemungkinan bisa terjadi.
Hingga pada akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun mengabdi, beliau diangkat menjadi kepala sekolah. Saat itu, sebagai seorang pendidik, beliau masih tetap mengajar. Mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Memberi bekal ilmu kepada masyarakat. Beliau tidak bisa berdiam diri tanpa kesibukan. Bahkan, karena hobinya sibuk, kami anak-anaknya sering dibuat gokil saat hari minggu. Bagi orangtua kami, hari minggu bukanlah hari libur, tapi hari kerja bhakti.
Jenjang kepangkatan pun berubah. Beliau diangkat menjadi penilik sekolah. Konsekuensinya, beliau harus pindah ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan. Artinya, tidak ada lagi kegiatan mengajar. Beberapa bulan berlalu. Sudah terbiasa dengan mengajar, beliau menjadi tidak betah hanya duduk-duduk di kantor. Tiap hari hanya melihat rekannya main catur di kantor. Tiap hari melihat rekannya datang kantor agak siang, main catur, ngobrol dan pulang menjelang siang.
Pergolakan batin terjadi. Pensiun dini menjadi keputusan akhir yang harus beliau ambil. Saat kami tanya kenapa mengajukan pensiun dini, padahal kerja tidak terlalu berat, dan masih mendapat tunjangan sebagai penilik. Beliau menjawab, ada rasa tidak enak hati kepada masyarakat karena tidak ada lagi yang harus dikerjakan di kantor. Ya, akhirnya beliau mengurus SK pensiun dini dua tahun menjelang pensiun resminya.
Jabatan memang membius. Bisa melenakan, bisa mengangkat status, tapi bisa menjadi penyakit mematikan. Tapi sesungguhnya, jabatan itu amanah, sebuah ujian. Kalau tidak mampu, lebih baik menolaknya...
salam...
Banjarbaru, Kalsel
15 Nov 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar