Bicara tentang lika-liku kehidupan seorang guru memang tidak akan pernah ada habisnya. Kadang mengharukan, kadang menyenangkan, kadang mencerahkan, tapi lebih banyak sedihnya. Seperti halnya pagi tadi, aku ngobrol dengan seorang anggota dewan Banjar dan Kepala Dinas Pendidikan Banjar. Obrolan kami seputar jam kerja guru di wilayah pelosok yang terkenal dengan sebutan 911.
Sebetulnya sebutan 911 di kalangan pendidik di wilayah terpencil Kalsel sudah lama muncul, tapi mulai populer lagi kemarin setelah ada sidang paripurna di dewan setempat. 911 adalah jam kerja para guru di wilayah terpencil, dimana mereka biasa datang ke kantor pukul 09.00 pagi dan pulang pukul 11.00 (masih pagi juga).
Bagi guru di wilayah kota atau yang dekat dengan pusat pemerintahan, ini memang hal yang tidak masuk akal. Karena, di antara mereka akan saling mengawasi, termasuk pimpinannya. Tapi bagi kalangan guru di wilayah terpencil seperti di sebuah kecamatan di Kabupaten Banjar, hal ini sangat wajar terjadi. Dan kejadian ini sudah berlangsung puluhan tahun. Di sini, semua kalangan sudah tahu sama tahu (TST), sama-sama maklum. Jadi jangan heran kalau angka buta huruf di wilayah ini bejibun jumlahnya karena pendidiknya ya itu, punya jam kerja 911 itu.
Tidak hanya 911 saja, guru terkadang hanya masuk kantor selama dua atau tiga hari saja dalam seminggu dan selebihnya untuk bisnis pribadi. Untuk urusan mengajar pada hari selebihnya, terkadang sekolah diliburkan, terkadang kakak-kakak kelas yang terpaksa mengajar adik-adik kelasnya. Artinya, sang kakak kelas harus rela mengajarkan apa yang pernah didapatnya dari guru mereka.
Nah, dalam pandangan umumnya, salah satu fraksi anggota dewan ini menyorot kelakuan guru yang dirasa tidak wajar ini. Fraksi ini mengaku telah banyak mendapat keluhan dari orangtua murid. Para pelapor ke dewan ini resah jika hal ini terus dibiarkan, maka akan mengganggu perkembangan pendidikan anak-anak desanya. Anggota dewan sendiri merasa hal ini harus diubah, mengingat Pemkab Banjar tengah gencar melakukan perbaikan-perbaikan kualitas pendidikan, termasuk memberi banyak sekali fasilitas kepada pengajar, sekolah itu sendiri maupun anak didik. Untuk diketahui, dua tahun terakhir, sekolah SD dan SMP di Banjar ini gratis dari pungutan SPP.
Sang kepala dinas, mendapati laporan ini merasa tidak terkejut. Tapi anehnya, saat melakukan sidak masalah ini, dia selalu pulang dengan tangan hampa. Apakah karena sidaknya bocor atau mungkin sudah ikut tradisi TST tadi. Menurutnya, untuk wilayah terpencil, hal itu masih bisa dimaklumi asal tidak kebangeten. Maksudnya, begitu boleh asal tidak tiap hari. Menurutnya pula, wilayah terpencil memang sulit diakses oleh transportasi.
Ada banyak kendala menurutnya. Karena jarak sekolah dan rumah guru yang sangat jauh, maka diperlukan biaya transport yang cukup mahal. Jika sang guru tidak punya sepeda motor, jelas gajinya tidak akan cukup untuk membayar ongkos transport yang bisa mencapai Rp 50 ribu atau lebih perhari. Artinya, sang guru hanya memindah slip gajinya kepada sopir angkot saja.
Jika harus ngontrak rumah, dia harus ngontrak di rumah siapa? Di wilayah terpencil tidak ada rumah yang dikontrakkan. Jangankan dikontrakkan, ditempati sendiri saja tidak layak. Sekolah bersangkutan juga tidak punya rumah guru. Jangankan membangun rumah guru, sekolah itupun dibangun secara darurat. Dan kebanyakan sekolah di wilayah terpencil, kondisinya sangat memprihatinkan.
Untuk mengatasi hal itu, Pemkab Banjar telah mengupayakan sepeda motor dinas, tapi jumlahnya memang belum memadai. Meski sedikit membantu, tapi jelas saja, tenaga pak guru akan habis di jalan. Ujung-ujungnya, jam sekolah juga yang dikorbankan. Untuk diketahui, untuk sampai di sekolah ini, sang guru harus menempuhnya dalam waktu 3-4 jam perjalanan dengan medan yang sangat berat. Satu-satunya jalan yang ada sering sangat becek saat hujan dan berdebu saat panas. Terkadang, sepeda motor ini harus dituntun hingga beberapa kilometer karena jalan putus oleh longsor atau genangan air.
Tahun lalu, Pemkab Banjar juga telah membangun satu wisma untuk guru. Satu wisma ini bisa ditempati lima hingga sepuluh orang. Wisma ini juga bisa ditempati Pak Camat, karena saat ini Pak Camat juga belum punya rumah dinas. Sebelum rumah dinas jadi, Pak Camat ini terpaksa harus ngekost satu kamar di rumah salah satu warga. Dia terpaksa ngekost di wilayahnya karena sudah menandatangani perjanjian bahwa camat tidak boleh meninggalkan rumah dinas tiga hari tanpa ijin. Jika ketahuan, Pak Camat ini harus dikotakkan di kantor pemkab, alias tidak dikasih jabatan.
Nah ini sekelumit masalah tenaga pendidik di negeri yang kaya raya ini.
Sekelumit cerita dari Kabupaten Banjar yang terkenal kaya akan bahan tambang batu bara, intan, emas, kromit, dan pasir sirkon. Semua hasil tambang itu, jika dikalkulasi hingga detik ini, tentu saja telah beromzet triliunan rupiah. Tapi ya itu, yang menikmati hanya segelintir orang saja. Penduduk miskinnya masih sangat banyak, yang buta huruf juga masih ribuan.
Tentu saja masih ada banyak sekali masalah-masalah yang dihadapi para guru di wilayah terpencil lainnya. Semoga saja, sang anggota dewan bisa bersikap bijak, tidak asal kritik tanpa mau turun ke lapangan. Karena, setelah kami ngobrol cukup lama saat itu, sang anggota dewan bilang bahwa informasi yang didapatnya itu ternyata hanya keluhan yang didapatnya melalui SMS saja. Dia sendiri mengaku belum pernah turun ke lapangan, melihat kondisi yang sesungguhnya. Nah loh...
salam,
Kompleks Buncit Banjarmasin
Rabu, 19 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar