Seperti biasa, hari ini saya ngantor pukul 08.00 Wita. Jarak dari rumah (Banjarmasin) ke kantor (Banjarbaru) sekitar 35 kilometer. Jalannya mulus, lurus dan lebar. Sehingga sangat nyaman kalau naik kendaraan di jalanan utama, Ahmad Yani ini.
Tapi, mulusnya jalan terkadang malah menjerumuskan. Bagaimana tidak, karena nyaman, saya sering ngantuk di jalan. Beberapa kali saya hampir terperosok ke got karena tidur di atas motor. Kalau sudah begini, biasanya saya arahkan motor ke bahu jalan yang masih belum beraspal. Beberapa detik berikutnya, biasanya ngantuk hilang.
Meski sudah dua setengah tahun melaju kerja, tapi tiap kali berangkat dan pulang kantor, saya selalu was-was di jalan. Bukan apa-apa, perubahan budaya lalu lintas sungai ke darat membuat kebanyakan masyarakat Kalsel belum siap menerimanya. Kalau saya adu argumen soal peralihan budaya sungai ke darat ini, biasanya kawan-kawan akan protes, tapi ketika mereka merasakan sendiri di jalan, biasanya mereka baru menyadarinya, dan memahami kondisi kotanya.
Jadi, kalau kebetulan sedang main ke Banjarmasin, jangan heran kalau ada mobil yang melipir jalan melawan arus. Kalau sepeda onthel masih mending, ini kan mobil yang lebarnya satu meter lebih. Jangan heran pula kalau ada pengendara sepeda motor nyantai di tengah jalan meski sedang berada di jalur cepat sekalipun.
Sebagian besar pendatang pasti akan protes atau komplain dengan pengguna jalanan. Jangankan pendatang, teman-teman saya yang asli sini juga sering menggerutu! Makanya, harian Banjarmasin Post pernah menulis berita setengah protes ketika Banjarmasin dinobatkan sebagai kota besar yang paling tertib berlalu lintasnya se Indonesia.
Di koran ini, saya pernah membuat tulisan bersambung hingga empat seri, khusus reportase kesemrawutan lalu lintas di Banjarmasin. Lucunya, pada sore hari menjelang tulisan saya terakhir diterbitkan, saya ditabrak pengendara sepeda motor. Saat itu saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan ngilu di tangan yang terkilir. Bagaimana tidak, saat itu lampu merah telah berganti menjadi hijau, kendaraan di depan saya sudah melaju, lalu giliran saya menyeberang perempatan jalan. Rupanya ada penyelonong lampu merah di sebelah kanan saya. Tabrakan tak dapat dihindarkan. Karena merasa bersalah, penabrak saya langsung kabur, meninggalkan saya tergeletak begitu saja di jalanan.
Rasa was-was sering kali hinggap ketika berpapasan dengan gang atau lorong. Karena dari tempat inilah, banyak pengemudi sering nyelonong seenaknya. Tabrakan di mulut gang menjadi pemandangan tiap hari di Banjarmasin. Tapi, meski telah terjadi bertahun-tahun, kok ya nggak kapok tabrakan terus.... Satu-satunya jalan, tiap mau berangkat naik kendaraan, berdoalah agar tidak diserudug orang. Karena, meskipun kita telah sangat berhati-hati di jalan, kalau ada pengemudi lain ngawur, tetap habislah kita...
Banjarbaru, Kalsel
Rabu, 5 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar