Kamis, 05 Maret 2009

kontrak (kerja) itu pun datang

Kabar gembira itu akhirnya datang juga beberapa hari lalu. Ini adalah kabar dari adikku yang tinggal di Jakarta. Selama tiga bulan sebelumnya, kehidupannya tidak menentu, penuh dengan rasa was-was, karena tak ada kepastian hukum dia bakal direkrut menjadi karyawan sebuah perusahaan di Jakarta.


Selama tiga bulan itu, kekhawatiran terus menghantui, meski telah ada jaminan dari beberapa koordinator, termasuk pimpinan desknya bahwa dia bakal direkrut. Dia pantas khawatir karena telah menyatakan resign dari perusahaan sebelumnya, sementara di perusahaan baru, dia belum terikat kontrak resmi. Apalagi, kini telah ada satu bayi mungil dalam kehidupannya. Bayangkan saja, hidup berkeluarga di Jakarta tanpa penghasilan yang pasti. Beberapa saudara juga sudah disawer untuk sekedar memberi bantuan uang makan. Tentu saja dengan iringan doa tulus ikhlas sepenuh jiwa.

Memang, selama tiga bulan terakhir, dia telah dipekerjakan di kantor barunya itu. Koordinatornya juga telah menugasinya tiap hari. Namun, sekali lagi, dia belum terikat kontrak secara resmi dengan perusahaan ini. Pil pahit didepak secara sepihak oleh perusahaan baru itu pun bisa saja terjadi. Awal masuknya di perusahaan ini, karena ditarik oleh rekan-rekan sekantornya, yang lebih dulu pindah ke kantor baru ini. Salah satu alasan dia menerima tawaran itu karena gaji yang ditawarkan beberapa kali lipat dari sebelumnya.

Selain oleh rekannya, yang juga koordinatornya, dia juga sudah di-acc oleh pucuk pimpinan desk tempatnya bekerja. Hanya saja, karena manajemen perusahaan ini berganti, maka belum ada match antardesk. Semua rekan dan pimpinan desknya telah sepakat, termasuk besaran gaji yang bakal diterima, tapi bagian SDM belum ACC dengan alasan dia bukan rekruitmen SDM.

Negosiasi alot pun terus terjadi. Merasa tak nyaman, koordinator dan pimpinan desknya pun turun tangan. Beberapa kali, mereka meyakinkan bagian SDM bahwa adikku ini layak diperhitungkan menjadi karyawan. Beberapa kali pertemuan pun telah digelar, tapi hasilnya selalu molor. Tapi, secercah keyakinan bakal diterima tetap dipegangnya. Selain berani menunjukkan kualitas, ada jaminan dari koordinator dan pimpinan desknya bahwa dia tak mungkin didepak dari kantor baru itu.

Akhirnya, kenyataan itu pun terwujud. Kini, dia telah tanda tangan kontrak dengan gaji awal sekian juta (hampir tiga kali lipat gaji lama). alhamdulillah. Untuk ukuran Jakarta, gaji itu memang termasuk pas-pasan, tapi kepastian direkrut jadi karyawan resmi telah membuat hari-harinya menjadi tenang. Rasa was-was pun berganti dengan rasa syukur.

Bagi kami, kesenangan itu tak hanya sekedar diterimanya adik saya secara resmi. Lebih dari itu, usaha kami secara psikologis ternyata membawa hasil positif. Ya, sekali lagi the secret dan psikosibernetik yang kami jalankan untuk menggapai keinginan ini, benar-benar bisa mewujud.

Psikosibernetik itu kami awali dari sebuah keluhan. Beberapa kali, adikku mengeluh selalu kekurangan uang. Gajinya pas-pasan, dan selalu habis sebelum gaji berikutnya datang. Merasa prihatin, saya pun mengingatkan konsep psikosibernetik yang telah kami jalankan selama beberapa tahun ini. Dia pun setuju. Akhirnya, tiap hari kami berteleponan untuk mendiskusikan apa yang harus kami lakukan.

Sesuai konsep psikosibernetik dan juga the secret, suatu keinginan atau keajaiban, bisa muncul (menghampiri) jika hati selalu merasa senang dan ikhlas. Langkah awal pun kami susun. Keluhan kekurangan gaji itu kami ubah menjadi rasa syukur. Awalnya agak sulit, tapi ketika dilakukan dengan niat yang sungguh-sungguh dan ikhlas, akhirnya bisa juga. "Syukur masih punya gaji tetap." Itulah kalimat yang kami dengung-dengungkan. Soal selalu kurang, itu relatif. Yang penting, bagaimana kita bisa menikmati gaji yang pas-pasan itu.

Beberapa hari berikutnya, setelah kami (terutama adik saya) mengikhlaskan apa yang terjadi dalam hidup ini, (menikmati dan mensyukuri yang telah diberikan kepada kami), ternyata muncul sebuah harapan baru. Melalui obrolan yang tak disengaja, seorang "mantan" kawannya tiba-tiba mengajaknya bekerja di tempat barunya. Mantan kawan yang kini jadi koordinatornya itu, mengatakan bahwa perusahaan barunya masih perlu banyak karyawan. Kalau mau, dia bisa mengusulkan ke pimpinannya.

Dia pun iseng-iseng bertanya, berapa gaji yang ditawarkan perusahaan baru itu. Kawan itu bilang hampir tiga kali lipat dari gaji sebelumnya. Bak gayung bersambut, dia pun menyatakan setuju. Rasa syukur pun terucap. Diskusi psikosibernetik lebih kami intensifkan. Selain bersyukur, sebagai perwujudan dari rasa syukur itu (langkah nyata), adalah memberikan sedekah. Meski kondisi keuangan sedang sempit, kembang kempis, semangat bersedekah tetap digelorakan.

Langkah menambah sedekah ini kami lakukan dengan sebuah keyakinan bahwa sedekah merupakan kunci untuk membuka pintu rezeki berikutnya. Semakin banyak bersedekah, pasti rezeki juga bakal sering menghampiri.

Setelah segala persyaratan formal(itas) dipenuhi, akhirnya dia "dipekerjakan" di perusahaan baru. Dia pun menyatakan resign dari kantor lama. Meski telah bekerja di kantor baru, tapi status hukum belum didapat. Dia belum tanda tangan kontrak kerja secara resmi. Akibatnya, selama dua bulan dia hanya menerima uang transport. Rasa was-was mulai menghantui, tapi selalu berhasil kami usir dengan penuh keyakinan. Kami yakin bahwa sesuatu yang baik, pasti akan melahirkan kebaikan.

Aku pun usul agar dia membuat sebuah nadzar. Orang bilang, nadzar juga merupakan kunci duplikat pembuka pintu rezeki. Nadzar itu pun diutarakan setelah dia tanda tangan kontrak kerja. Ternyata, dia benadzar: jika telah tanda tangan kontrak, akan menyedekahkan sebagian rezekinya, yaitu menyekolahkan dua anak yang tak mampu melalui sebuah lembaga sosial.

Ya, begitulah, setelah melewati tiga bulan yang menegangkan, menyenangkan, dan penuh keikhlasan dan rasa syukur, akhirnya kontrak kerja itu pun datang. Semoga menginspirasi......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar