Kamis, 30 April 2009

modal nekat


Saat chating di facebook, teman lama mengingatkanku tentang masa lalu. Aku jadi kepikiran juga untuk sekadar sharing di blog ini. Kejadian ini terjadi pada 1995-1997. Seperti biasa, pada bulan Juni-September, biasanya aku selalu travelling untuk mengisi liburan panjang kuliah.

Tahun 1995, usai ujian akhir, aku jalan-jalan ke Lombok, tahun 1996 aku jalan-jalan ke Bali, tahun 1997 aku balik lagi ke Bali. Namun, perjalananku ini bukanlah pesiar yang mewah, tapi perjalanan nekat yang penuh risiko. Bisa dibilang nekat karena biayanya yang teramat minim. Maklumlah mahasiswa, anak kost lagi.

Tahun 1995 adalah pertama kali aku ke Bali. Keinginan ke Bali sudah aku idamkan saat masih SMA, tapi baru kesampaian saat kuliah di Jogja. Saat itu, di tangan cuman ada uang Rp 100 ribu. Aku memutar otak bagaimana dengan uang segitu bisa sampai ke Bali. Uang itu aku belikan beberapa bungkus mie instan, satu roll film, dan beberapa makanan ringan lain, dan beberapa kilogram beras.

Akhirnya, uang di tangan tinggal Rp 60 ribu. Semua bekal itu aku masukkan dalam tas ransel bersama dengan peralatan naik gunung, seperti nasting plus parafin dan kompornya. Tak ketinggalan kamera poket murahan dan pisau lipat. Aku memutuskan untuk berangkat sendiri karena tak ada satu temanku yang mau diajak hidup nekat.

Aku memulai perjalanan dari Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogja. Saat itu ada kereta jurusan Jogja-Banyuwangi dengan harga tiket cuman Rp 7.000, tahun 1996 harga tiketnya menjadi Rp 9.000 dan berubah jadi Rp 15 ribu pada tahun berikutnya. Nama keretanya Sri Tanjung. Berangkat pagi dari Jogja, sampai Banyuwangi pukul 22.00 WIB.

Sampai di Stasiun Banyuwangi jalan kaki ke penyeberangan Ketapang. Kalau tidak salah, saat itu ongkos ferry cuman Rp 1000 per orang. Di penyeberangan ini aku mencoba mencari truk tumpangan sampai Denpasar. Akhirnya ada juga kernet truk yang baik hati memberi tumpangan. Lumayan bisa sampai Denpasar gratis. Pendek kata, saat itu aku bisa berjalan-jalan (bener-bener jalan kaki plus numpang truk) selama seminggu di Bali, dan bisa sampai Jogja lagi dengan selamat.

Hari ketiga bermalam di Pantai Kuta menggunakan tenda dome, aku didatangi beberapa preman. Mereka minta barang-barangku. Tak ingin mati konyol, karena kalah jumlah (dan tak kenal medan) aku pasrah saja saat digeledah. Saat itu, aku hanya bisa berdoa. Seluruh isi tas, dompet dan baju saya digeledah. Sesekali aku mencoba mengajak ngobrol sok akrab. Setelah puas menggeledah, dan tidak menemukan barang berharga, termasuk uang, mereka malah kebingungan. Salah satu dari mereka bertanya, bagaimana bisa bertahan hidup dan pulang ke Jogja tanpa uang dan perbekalan? Aku pun menjawab sekenanya. Aku bilang hal itu sudah biasa aku lakukan.

Mereka malah memberi respon positif. Mungkin mereka iba dengan nasibku yang lontang lantung tanpa perbekalan, atau malah pusing melihat sikap nekatku. Ingin memberi respon positif pula, aku mencoba membuatkan mereka kopi dengan sisa-sisa perbekalan yang ada. Setelah beberapa lama ngobrol, kami pun jadi semakin akrab. Dan sungguh di luar dugaan, saat saya pamit pulang keesokan harinya, mereka memberiku uang saku Rp 20 ribu dan beberapa potong baju pantai. Mereka bilang baju itu hasil mengutil pengunjung pantai. Ingin memberi rasa hormat, aku menerima pemberian itu, meskipun dalam hati aku menolaknya.

Tahun berikutnya, saat ke Lombok, aku ketemu dua orang gila. Dua orang teman dekat, Suranto (alm) dan Daniel yang mau diajak hidup nekat. Dengan uang yang teramat minim, aku bisa keliling Lombok plus naik Gunung Rinjani. Keren, foto-foto di puncak dan liburan di Segara Anakan tiga hari tiga malam. Saat pulang, sampai di Stasiun Lempuyangan, uang kami bertiga tinggal Rp 400 perak. Aku masih ingat uang itu kami belikan nasi dua bungkus tanpa lauk dan kami makan bertiga. Untuk diketahui, karena tidak ada uang untuk beli makan di perjalanan, kami hanya makan mangga mentah pemberian seorang teman. Perut kami sempat sakit melilit karena lapar dan masam.

Begitu juga tahun 1997, aku ditemani dua teman gila yang lain, Budi dan Simeon. Kali ini, selain keliling Bali, kami juga naik Gunung Agung, Gunung Semeru di Malang, dan Gunung Merapi di Jogja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, uang yang kami bawa juga sangat minim. Untuk makan, kami hanya mengandalkan mie instan.

* * *

Ya, nekat memang sifatku. Aku berpikir, jika tidak nekat, maka tidak ada perubahan. Dengan gaji minim, jika tidak nekat utang, ya tidak bakal punya apa-apa. Pernah juga, aku bawa sepeda motor rusak dari Rembang ke Jogja. Yang harus aku tanggung, macet puluhan kali, ndorong gak kehitung lagi, bersihin busi motor juga gak kehitung. Tapi tetap saja sampai Jogja. Jika perjalanan normal tujuh jam, aku menempuhnya selama 15 jam.

Tapi, beberapa tahun kemudian, aku baru sadar bahwa sikap nekat memang sangat dibutuhkan. Terutama untuk memecahkan hal-hal mendesak. Dan setelah saya merenung, aku bisa berkeliling ke banyak kota, menjejakkan kaki ke beberapa puncak gunung, dan memenuhi beberapa keinginanku hanya dengan modal nekat.

Beberapa psikolog bahkan mengatakan, dalam sebuah kenekatan terdapat sebuah tenaga yang dahsyat. Nekat biasa muncul bila seseorang berada dalam keadaan kepepet (terjepit). Dan manusia bisa melakukan hal-hal besar di saat sedang kepepet. Jadi jangan heran bila seseorang bisa berlari lebih cepat dari sepeda motor bila sedang ketakutan melihat hantu atau dikejar tramtib. Seseorang bisa melakukan hal-hal di luar kewajaran saat ingin memenuhi rasa cintanya kepada seorang kekasihnya.

Tenaga luar biasa yang bisa keluar dari kondisi kepepet atau nekat, bagaikan gunung di dalam lautan. Yang kelihatan cuman kecil, tapi tenaganya luar biasa besar di dalam laut. Kabar baiknya, tenaga super ini bisa dipelihara dan dikeluarkan sesuai kemauan kita. Asal kita tahu caranya. Beberapa motivator dunia juga menggunakan tenaga super ini untuk mendorong tercapainya cita-cita para klien mereka.

4 komentar:

  1. yes... Sedikit banyak aku jadi saksi sebuah kenekatan, dan beberapa kali melakukan juga, copet

    BalasHapus
  2. kl ga nekat yo ga iso mangan dab, juga ga duwe bojo, daniel

    BalasHapus
  3. 1. pak copet: hehehe... sekarang tinggal mengenang. Bisa juga buat cerita jelang tidur anak

    2. daniel: hehehe, salah satu kawan nekat. tks kawan, kapan kita bisa menjalani kegilaan lagi?

    BalasHapus
  4. bener2 nekat....tapi tetep pake perhitungan dong. ya kan bro. tapi asik ceritanya...

    BalasHapus