Selasa, 10 Februari 2009

nemu uang

Ini pengalaman yang terjadi akhir bulan lalu. Saat itu, uang di tangan tinggal Rp 200ribu. Sebetulnya ada uang sih di rekening, cuman lagi males aja pergi ke ATM. Lagi pula, aku memang telah berniat untuk bertahan dengan uang itu hingga gajian tiba.


Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, aku selalu ngantar anakku ke rumah pengasuhnya. Tiba di tempat sepi, tiba-tiba ada uang kertas terbang di depan sepeda motor. Saya pun berhenti. Setelah memastikan di kawasan sekitar tak ada orang lain, saya ambil uang yang ternyata Rp 10 ribu.

Anakku yang masih berumur tiga tahun kurang sebulan itu protes. Dia melarang aku mengambil uang itu karena bukan milikku. Kami memang sering mengajarkan ke anak kami untuk tidak mengambil apapun yang bukan milik kami. Alhamdulillah, ternyata itu bisa diterima dengan baik.

Sungguh. Saat itu aku tidak ada niat sama sekali untuk memiliki uang itu. Aku ingat betul pesan orang-orang tua jaman dulu, kalau kita nemu uang di jalan, biasanya dalam waktu dekat, kita akan kehilangan harta/benda dengan jumlah yang lebih besar dari nominal yang kita temukan. Dan itu, sudah berulang kali terjadi pada diri saya.

Jika saat itu aku memutuskan untuk mengambil uang itu, karena aku berniat menyedekahkan uang itu ke orang yang lebih membutuhkan. Saat itu saya berpikir, uang itu akan lebih berarti jika ada di tangan orang yang tidak punya, daripada diambil orang yang sudah berkecukupan. Kepada anakku, aku menjelaskan bahwa uang itu milik orang miskin, dan aku berjanji akan mengembalikannya. Syukurlah, anakku bisa menerima penjelasanku.

Usai mengantar anakku, aku bingung mau menyerahkan uang itu kepada siapa. Di sepanjang jalan, aku tidak menemukan orang yang layak diberi uang itu. Akhirnya, aku memutuskan memasukkan uang itu ke kotak yang ada di masjid saat Jumatan. Saat akan berangkat Jumatan, ternyata ada orang mengetuk pintu rumah dan meminta sumbangan pembangunan masjid. Dengan niat ikhlas, aku beri sumbangan Rp 25 ribu, dan aku pun berangkat Jumatan.

Sebelum pulang Jumatan, tak lupa aku memasukkan uang Rp 20 ribu ke kotak amal. Dengan begitu, tugasku menyalurkan uang temuan sebesar Rp 10 ribu sudah terlaksana, termasuk "nabung" sebesar Rp 10 ribu untuk masjid. Aku pun pulang dengan perasaan enteng. Sampai di rumah, aku istirahat sejenak sambil minum air putih dingin.

Tak lama berselang, pintu rumahku kembali diketuk orang. Kali ini, tukang bersih-bersih halaman rumahku yang datang. Dengan wajah pucat dan agak gugup, dia meminta bantuan saya. Dia ingin meminjam uang Rp 150 ribu karena sedang ada keperluan mendesak yang tidak bisa dihindari. Seperti kondisinya yang saat itu tak bisa mengelak, aku pun tak bisa menghindar. Aku ambil napas panjang sejenak dan menata hati agar bisa ikhlas.

Tanpa ragu-ragu, dan dengan niat tulus ingin membantu sesama, aku serahkan juga uang Rp 150 ribu kepadanya. Dengan demikian, uang di tanganku tinggal Rp 15 ribu. Setelah dia pulang, saya pun tersenyum (lega-lega gimanaaa gitu...). Dalam hati, aku pun bilang "Hari gini, uang di tangan cuman Rp 15 ribu. Punya anak bini lagi." (halah). Tapi anehnya, aku tak menyesal sama sekali, justru perasaanku menjadi sangat tenang, nyaman, dan Enteng. Seringan kapas.

Aku pun teringat Yusuf Mansyur. Ustadz muda yang terkenal dengan pengajian sedekahnya itu. Jika kita bersedekah (memberikan) yang terbaik secara ikhlas, maka kita akan diberi yang jauh lebih baik. Jika kita memberi kepada orang lain secara ikhlas, maka sesungguhnya kita sedang memberi kepada diri kita sendiri. Kita sedang menabung untuk diri kita sendiri dengan bunga yang berlipat ganda. Maka, bersedekahlan di saat sedang sempit atau lapang.

Ternyata dalil itu memang benar-benar terbukti. Menjelang tidur, handphone saya berdering. Nomornya tidak saya kenal. Suaranya pun sudah agak-agak lupa. Rupanya dia adalah kawan lama yang sudah enam tahun terakhir tidak ketemu. Dia bilang sedang dapat proyek besar bernilai miliaran rupiah. Alhamdulillah, saya sangat senang mendengarnya. Hampir 30 menit dia telepon saya, bicara kabar dan segala macam masa lalu.

Yang membuat saya kaget, ternyata dia masih ingat kalau dia masih punya utang kepada saya. Padahal, enam tahun lalu, saya tidak berniat mengutangi dia, saya hanya ingin membantu dia. Saat itu, dia sedang butuh uang Rp 300 ribu untuk sebuah keperluan mendesak. Kebetulan saat itu saya punya uang, jadi saya berikan saja dengan ikhlas tanpa berharap dia mengembalikannya.

Dalam telepon, dia memaksa saya memberikan nomor rekening saya. Dia ingin membayar utang. Dia juga bilang, bahwa utang tetaplah utang yang wajib dibayar. Karena dia memaksa, saya pun memberikan nomor rekening saya. Setengah jam kemudian, dia sms saya yang isinya sudah mentransfer uang sebesar Rp 1 juta. Saya pun kaget bukan kepalang. Utangnya cuman Rp 300 ribu, kenapa dia transfer Rp 1 juta. Saya pun langsung balik telepon dia. Dengan tawa enteng, dia bilang hanya ingin berbagi karena telah mendapat proyek besar. Alhamdulillah.

Saya pun tertegun. Secepat ini kah pembalasan sedekah itu. Dan sebesar itu kah gantinya?

3 komentar:

  1. Subhanallah.... Dahsyatnya sedekah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas didi, gak ada ruginya bersedekah. Selain banyak dalilnya, juga sudah banyak buktinya, mari kita perbanyak sedekah...

      Hapus
  2. terimakasih mas andi sudah berkunjung

    BalasHapus