Minggu, 18 November 2007

Jeli

Tuhan memang maha adil. Siapapun mahluk hidup, pasti diberi rejeki. Tinggal bagaimana kita mencari dan mengais rejeki yang telah disediakan oleh alam kepada makhluk. Jadi sungguh lucu kalau orang bilang Tuhan tidak adil hanya gara-gara melihat orang lain yang lebih kaya dari diri kita.

Tapi wajar, manusia dilengkapi dengan akal dan pikiran. Dengan akal dan pikirannya itu, manusia bisa membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan pikirannya itu pula, manusia juga mempunyai keinginan dan pilihan. Tapi terkadang, keinginan manusia itu membutakan. Keinginan manusia itu lah yang konon membuat terjadinya kejahatan di dunia ini. Tidak punya uang untuk beli sesuatu, seseorang harus rela mencuri atau merampok.


Adam ingin memegang buah larangan saat di surga. Makanya, dia dikirim ke dunia ini bersama Hawa karena melanggar larangan Tuhan. Adanya keinginan manusia itu pula yang akhirnya membuat dunia ini penuh dengan warna. Kalau tidak ada orang yang ingin punya mobil, tentu tidak akan ada orang beli mobil, begitu juga jika tidak ada orang yang ingin beli rumah, pakaian atau bahkan tidak ingin makan, maka barang-barang itu tidak ada yang menjual atau menyediakannya.

Saat melihat cacing di dalam tanah, tentu kita tidak bisa membantah kalau cacing itu langsung bisa makan, setiap hari, bahkan setiap waktu. Padahal, cacing terletak di dalam tanah yang pengab, sempit dan tidak dilengkapi akal pikiran seperti manusia. Burung, ikan, ulat, belatung atau serigala sekalipun sudah langsung bisa mendapat rejekinya saat baru pertama kali dilahirkan ke dunia ini. Ikan bisa langsung berenang, anak sapi atau kambing langsung bisa berjalan adalah rejeki yang luar biasa dari Tuhan.

Lalu, bagaimana sampai ada orang kaya, superkaya atau ada pula orang miskin atau biasa saja. Apakah ini menandakan Tuhan itu tidak adil, atau Tuhan itu pilih kasih. Tentu saja tidak. Tuhan sangat adil. Justru dengan adanya perbedaan itulah menandakan bahwa Tuhan itu sangat adil.

Coba kita bayangkan kalau semua orang sudah kaya semua. Pasti tidak akan ada yang mau menjadi kuli bangunan untuk membangun rumah. Tentu tidak ada orang yang mau berdagang nasi, jual baju, jual mobil atau jualan apa saja, karena semua orang sudah kaya. Ngapain kerja kalau sudah kaya! Nah, dengan beragam tingkat kekayaan atau rejeki itu pulalah terjadi keseimbangan kehidupan.

Orang yang tidak berpunya, harus rela menjadi kuli bangunan, jadi pedagang ikan, penjual nasi atau jualan sayur. Demikian juga dengan orang kaya atau orang berduit. Dengan uangnya, mereka bisa membeli nasi, lauk, sayur atau membeli barang-barang yang dijual orang lain. Itulah hubungan saling melengkapi. Terlebih lagi hubungan timbal balik, atau hukum sebab akibat.

Melihat orang-orang bisa bebas finansial, tentu kita bertanya, kenapa mereka bisa, sedangkan kita tidak. Padahal kita sama-sama hidup, sama-sama makan, sama-sama menghirup udara yang sama, tapi kenapa rejeki berbeda. Selain karena faktor nasib, tentu saja karena faktor diri kita sendiri. Sudahkah kita bekerja seperti orang kaya.

Kita hanya bisa melihat artis bergelimang harta benda dengan kehidupan glamornya. Tapi kita tidak pernah sadar kalau artis bekerja dari pagi hingga pagi hari lagi. Saat orang-orang tidur, artis masih bekerja. Saat orang-orang sekolah, artis sibuk bekerja. Saat kita hanya bisa melihat dan menggosip orang lain sukses, sang artis sedang sibuk mengelap peluh di sela kantuk dan capeknya yang luar biasa.

Terkadang, kita juga tidak sadar kalau tetangga kita sangat sibuk mengerjakan pekerjaannya. Sehingga kita hanya bisa merasa iri melihat rumah dan mobil mewahnya saja. Iri dengki memang merupakan penyakit kronis yang bisa merusak kehidupan. Tapi dalam kadar tertentu, iri bisa menjadi pelecut seseorang untuk bekerja lebih keras untuk mengejar keinginan. Mengejar cita-cita.

Saya jadi ingat seorang teman yang punya banyak usaha. Tentu saja dia banyak duitnya. Setelah melihat kehidupan sehari-harinya, saya jadi tahu kalau dia adalah seorang pekerja keras. Dia menjual apa saja potensi yang bisa dijualnya. Tentu saja, yang dijual adalah barang-barang yang halal untuk dijual.

Tapi ada hal lain yang saya lihat dari dirinya. Dia orangnya sangat jeli melihat peluang. Bisa dibilang, apa saja bisa dijadikan uang olehnya. Dan yang membuat saya terkesan dengan teman saya ini, dia orangnya suka berderma. Mungkin dengan suka bersedekah inilah yang membuat rejekinya terbuka lebar.

Saya pernah terbengong saat pergi dengan teman ini ke suatu tempat. Saat itu kami melihat hamparan pohon enceng gondok di sebuah danau. Komentar pertamanya adalah, hamparan enceng gondok itu adalah harta yang disia-siakan. Padahal, mestinya itu bisa disulap menjadi uang jutaan rupiah. Benar saja, dalam bulan-bulan berikutnya, dia telah memanen beberapa kuintal enceng gondok tanpa tuan itu ke seorang perajin di Sleman Jogjakarta.

Belakangan, saat saya jalan-jalan ke Malioboro, saya baru tahu kalau enceng gondok yang telah dijualnya itu telah disulap menjadi tas, taplak meja hingga sendal hias anyaman enceng gondok. Wah, ternyata diperlukan kejelian terhadap apapun yang kita lihat.

Dalam hati saya berkata, ternyata saya hanya baru bisa terpesona dengan pandangan mata saya, sementara dia telah mengubah ketertakjupannya atas pandangan matanya itu menjadi sesuatu yang menghasilkan. Luar Biasa...

Itu belum seberapa, saat berkunjung ke rumahnya ternyata dia telah mengubah setiap meter dari rumahnya menjadi berbagai macam tempat usaha yang menghasilkan uang hingga jutaan rupiah. Beberapa kamar rumahnya di jadikan kos-kosan untuk anak kuliahan. Halaman depan rumahnya disulap menjadi toko, garasinya disulap menjadi wartel, warnet dan foto copy, mobilnya terkadang dipakai carteran, dan sederet bidang usaha lainnya hanya di rumah plus halaman seluas sekitar 400 meter persegi itu.

selain itu, dia juga menerima order cetakan, sablon atau order lainnya, padahal dia tidak punya satupun alat atau mesin yang menunjang usaha yang terakhir ini. Ternyata, saat dapat orderan, dia masukkan ke tempat usaha orang lain, dia hanya mengambil feenya saja.

JELI. Jeli melihat peluang adalah kata kunci yang dibutuhkan orang yang hidup di jaman sekarang. Tentu saja ditunjang dengan kerja keras dan tidak mudah menyerah. Dia pernah bilang, beberapa kali gagal dalam usaha, tapi dia mencoba dan terus mencoba hingga akhirnya memberi hasil yang memuaskan...

Ingin seperti teman saya, mari kita coba sama-sama...

salam

Banjarbaru, Kalsel
Jumat, 16 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar