Rabu, 28 November 2007

Om Jhon

Namanya Zaelani. Tubuhnya tinggi besar. Kulitnya hitam berewokan. Sekilas, dia mirip dengan Surya Paloh, tapi dia tidak tambun. Terakhir ketemu, saat dia sedang ngurus skripsi. Setelah dia lulus, tidak ada kabar beritanya lagi. Sempat beredar kabar dia menjadi sopir bus malam jurusan Surabaya-Jakarta.

Bertemu pertama kali dengannya, saat sedang opspek. Panggilannya saat itu adalah Je. Saat itu dia jadi Ketua Senat Mahasiswa UGM, yang kemudian langsung membubarkan dan menggantinya menjadi Dewan Mahasiswa (Dema). Saat itu, tidak ada yang istimewa darinya selain kewibawaannya dalam bergaul dengan teman-temannya. Satu lagi kesan saya tentangnya adalah rambutnya yang panjang se punggung, yang membuatnya mirip dengan orang Indian.

Saya agak terkejut saat bertemu dengannya beberapa bulan lalu. Bukan karena rambutnya yang sudah cepak, tapi lebih karena tempatnya yang tidak disangka-sangka. Awalnya dia datang ke kantor saya, tapi hanya ditemui security. Baru pada malamnya dia telepon saya. Saat ketemu, penampilannya biasa saja, bahkan security mengira dia tukang renovasi rumah saya di Banjarbaru, Kalsel.



Gaya bicaranya tidak berubah dari dulu. Selain suaranya yang agak berat, tangannya selalu bergerak-gerak di depan tubuhnya saat bicara. Tertawanya juga sering agak telat. Ngobrol ngalor ngidul dengannya membuat rasa primordial muncul. Saat itu langsung kepikiran untuk berbuat lebih banyak lagi di daerah perantauan.

Ternyata kedatangannya ke Kalsel ini hanya terpaut beberapa bulan saja dengan saya di tahun 2003. Dia bilang, datang ke Banjarbaru seminggu sebelum lebaran. Membawa serta istrinya, dia mengaku tidak punya tujuan yang pasti. Dia hanya diberi satu alamat di dekat bundaran Banjarbaru. Dia mengatakan, selepas lengser dari keanggotaan sebagai wakil rakyat di Jawa Timur, hidupnya menjadi tanpa kepastian yang jelas. Di Banjarbaru ini, dia sempat menjadi sopir bus jurusan Banjarmasin-Kaltim.

Yang membuat saya tertarik dengannya adalah, upayanya yang gigih untuk selalu maju. Dengan kerja kerasnya, selama beberapa bulan menjadi sopir, dia telah berhasil memiliki sejumlah tabungan. Pertama kali yang dilakukan dengan tabungannya adalah membeli sebidang tanah murah milik transmigran yang ditinggal pulang. Tanah seluas dua hektar itu ditanami pohon karet dan pohon untuk penghijauan.

Dengan ketrampilan lobi yang didapatnya selama kuliah Filsafat, dia berhasil masuk ke lingkungan perusahaan tambang batu bara. Pada akhirnya, dia berhasil memasok sejumlah pohon untuk penghijauan. Tidak hanya perusahaan di Kalsel saja, dia bahkan telah memasok puluhan ribu bibit ke sana.

Pundi-pundi tabunganpun berkembang. Sejumlah rencana disiapkan. Pergaulannya dengan kalangan perkebunan, membuatnya tertarik untuk membuat Banjarbaru Natura Farm (BNF). Sebuah ide tentang lahan pemelitian lengkap tentang perkebunan dan peternakan. Rencananya, BNF ini akan ditawarkan ke Unlam dan Dinas Perkebunan untuk sebuah penelitian. Untuk menunjang akomodasinya, dua buah mobil sudah diparkir di rumahnya. Rumah yang dulunya menjadi tempat kosnya, kini telah dibelinya.

Tidak itu saja, karena keuletannya, kini dia juga sudah memiliki sejumlah bidang tanah lain. Lahan itu ditanami tanaman hias dan pembibitan berbagai macam pohon penghijauan. Juga, dia telah mendirikan sebuah warung kecil di tepi jalan raya jurusan Mandiangin.

Yang menarik dari kehidupannya adalah, upayanya yang keras di bidang bisnis. Apapun bisa dijadikan komoditi bisnisnya. Tentu saja dengan keuletan dan keunggulannya di bidang lobi. Inilah, enaknya para pekerja di kuadran dua dan tiga (Robert Kiyosaki). Bisa bebas berkreasi, tanpa terikat oleh waktu. Tak ada yang mengatur atau menyuruhnya. Kini, dia tidak lebih dari seorang pengangguran. Tiap hari hanya keluyuran saja, tapi jangan salah, duitnya ada dimana-mana.

Menjadi kaya memang impian semua orang. Tapi sayangnya, kebanyakan orang justru salah melangkah. Ingin jadi kaya, tapi malah jadi pekerja. Padahal, yang namanya pegawai, buruh atau pekerja, dimana-mana tak ada yang kaya. Yang kaya adalah pemilik perusahaan, atau pemilik usaha. Jadi jelas, kalau ingin kaya jangan jadi pegawai, tapi jadi pengusaha.

Salah satu kendala yang kerap dihadapi kebanyakan orang adalah, orang cenderung berhenti melangkah sebelum perang. Mereka tidak jadi melangkah untuk menjadi pengusaha hanya karena di pikirannya ada kata-kata: Jadi pengusaha perlu modal. Padahal, untuk jadi pengusaha tidak melulu harus punya modal. Yang diperlukan adalah mentalitas pejuang untuk menjadi kaya raya, menjadi pengusaha. Modal hanya penunjang saja.

Untuk itu, jangan pedulikan modal. Kalau sekarang ada ide, lakukan segera. Kalau tidak ada modal, cari jalan dan alternatif lain, pasti ada jalan. Satu pilihan untuk maju, akan membuka seribu jalan menuju tujuan. Jalan-jalan kesuksesan akan terbuka dengan sendirinya. Yakinlah, berusahalah.

Kembali ke kehidupan Je. Meski sebelumnya dia belum mengenal Robert Kiyosaki, ternyata dia malah sudah menjalankannya. Sementara saya yang mengenalkan kepadanya baru beberapa bulan lalu, baru punya satu usaha (di luar pekerjaan utama).

Membicarakan usaha sampingan, saya jadi teringat masa kost di kawasan Selokan Mataram Yogyakarta. Di dekat kost saya ada seorang yang telah melangkah pada kuadran tiganya Kiyosaki. Meski tanpa kuliah, dia berhasil menjalankan apa yang disebut Tung Desem Waringin sebagai Multiple Sources of Income (MSI), penghasilan dari banyak sumber.


Orang ini membuka warung kelontong di kawasan padat kost. Apa yang dibutuhkan anak kost disediakan olehnya, mulai dari kertas, buku, hingga perlengkapan kost. Selain itu, di warungnya yang terbilang kecil itu, dia juga membuka usaha sampingan berupa foto copy. Dia punya dua mesin foto copy di tempat usahanya. Dia juga membuka usaha wartel dan tempat kost. Kalau mau menghitung, berapa penghasilan dari MSI yang dibuka tetangga kost ini?

Nah, sekarang tinggal kita, masih adakah tanah atau ruang kosong yang belum kita manfaatkan untuk usaha? Sudahkah kita mencoba melangkah untuk menjadi pengusaha, atau masih punya pikiran: Jadi pengusaha perlu modal?

Pertanyaan terakhir, kenapa nama Zaelani yang dulu disebut Bang Je, kini telah berubah menjadi Om Jhon yang sangat dikenal di kawasan transmigran Gunung Kupang Banjarbaru Kalsel. Jawabannya tentu tidak ada korelasinya dengan dunia bisnis. Atau jangan-jangan, dia malah sengaja menciptakan brand name yang mudah dikenal, sehingga mudah menjual? Sama seperti SBY-JK saat kampanye?

salam,

Banjarbaru, Kalsel
Rabu, 28 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar