Selasa, 06 November 2007

Otak cupet

Perubahan jaman ternyata tidak sepenuhnya dapat direspons kalangan perguruan tinggi, termasuk universitas negeri favorit sekalipun. Buktinya, banyak sarjana lulusan perguruan tinggi yang berotak cupet. Saat kuliah, para mahasiswa banyak yang keluyuran dan menghabiskan waktu secara tidak jelas. Suka menghamburkan uang orangtua dan tunjangan dari pemerintah, uang rakyat! Juga banyak yang suka mabok, nyolong dan berbuat maksiat dengan segala alasan pembenarnya.

Bahkan, lebih memalukan lagi, banyak mahasiswa yang terlibat tawuran. Untuk yang satu ini banyak terjadi di Makassar. Nah lho, mahasiswa yang dikenal sebagai kalangan intelektual koq suka berantem, apalagi orang yang pendidikannya lebih rendah, seperti anggota dewan misalnya.


Jadi, wajar to, kalau akhirnya banyak anggota dewan yang hanya bisa mutung, marah kalau keinginannya tidak dipenuhi. Marah kalau tidak dibelikan mobil dinas atau laptop, marah kalau tunjangannya tidak dinaikkan, meski kinerjanya nol besar. Lha wong mahasiswanya juga begitu.

Nah, bicara soal mahasiswa dan sarjana, saya jadi ingat. Saat ada lowongan pekerjaan di koran, pasti langsung diserbu para sarjana dalam waktu sekejap. Tak jarang, lowongan pekerjaan yang seharusnya diisi oleh lulusan SMA atau SMP sekalipun, pelamarnya adalah para sarjana, bahkan pascasarjana hingga doktor.

Di Jogja, jabatan penjaga rental VCD, penjaga wartel, pelayan toko, penjual mie ayam atau pecel lele dan warung kucing, kebanyakan adalah mahasiswa. Memang ada yang memoles toko mereka agak lebih ngetrend sehingga mereka tidak perlu malu. Bahkan, tidak sedikit yang sudah bertitel sarjana. Padahal, seharusnya, jabatan-jataban itu kan bisa dipegang oleh orang-orang yang tidak pernah sekolah sekalipun.

Alasannya, tentu saja bisa dimengerti. Mulai dari mencari uang saku tambahan, untuk membayar biaya kost, beli buku, biaya pacaran, biaya kuliah hingga untuk membunuh waktu yang tidak perlu. Tentu saja, namanya juga sampingan, gajinya juga ada di samping terus. Begitu gajian, langsung habis untuk beli rokok atau bayar hutang.

Masih di Jogja, saya teringat saat baru lulus sekolah dari perguruan tinggi negeri yang katanya favorit. Saat itu, ada lowongan kerja di sebuah perusahaan swasta. Dari lima kursi yang dibutuhkan, ternyata pelamarnya ribuan orang. Tidak tanggung-tanggung, banyak dari para pelamar ini adalah lulusan terbaik universitas negeri itu, juga lulusan terbaik universitas lainnya.

Celakanya, mereka dan juga saya, tetap ngeyel ingin masuk meski hanya digaji sangat kecil. Mungkin gajinya sama dengan uang saku sebulan anak SD di Jakarta. Nah kalo dihitung-hitung, tentu saja rugi kuliah tinggi-tinggi kalau saat kerja hanya digaji kecil. Padahal, ilmu kan mahal harganya. Tapi kenapa saat kita susah payah mendapatkan ilmu itu, kita rela digaji kecil setelah lulus. Belum lagi, pada saat itu cukup sulit untuk masuk ke perguruan tinggi ini, tentu saja melalui UMPTN.

Saat membaca cashflow quadran-nya Robert Kiyosaki, saya jadi berpikir, sungguh rugi kalau punya ijazah sarjana hanya digaji kecil saat kerja. Lebih baik, uang kuliah dipakai untuk modal usaha saja. Sedikit mendebat, aku kuliah kan tidak untuk mencari pekerjaan, tapi mencari ilmu.

Lebih jauh tentang Kiyosaki, mestinya kita malu, kuliah tinggi-tinggi tapi lulus masih cari kerja. Mestinya, lulusan sarjana itu bisa menciptakan pekerjaan bagi orang lain. Tapi ini, malah berebut dengan orang lain.

Tapi, Kiyosaki kan tidak pernah belajar budaya Jawa, terutama budaya Jogja. Dia tidak pernah tahu kalau orangtua itu begitu resah kalau anaknya tidak dapat kerja setelah jadi sarjana. Jadi, jangan heran kalau orangtua ini masih mengirim uang saku kepada anak sarjananya yang sudah bekerja. Bahkan, meski anaknya sudah berumahtangga sekalipun.

Kiyosaki juga tidak penah tahu kalau pandangan orangtua Jogja itu masih dipengaruhi budaya jaman kolonial, bahwa bekerja di kantor dapat meningkatkan status sosial. Jadi jangan heran kalau ada ibu-ibu di Jogja bangga kalau anak gadisnya dikawin tentara atau PNS dengan gaji Rp 1-2 juta perbulan daripada dikawin pedagang kelontong dengan penghasilan di atas Rp 10 juta perbulan.

"Mereka kan dapat pensiun," kata ibu-ibu Jogja.

Nah, untuk yang satu ini, Kiyosaki agak benar. Bahwa kebanyakan orang suka mencari keamanan (bekerja dan dapat pensiun) daripada mencari kekayaan dengan sejumlah resiko. Jadi, ungkapan sedikit penghasilan sedikit resiko, banyak penghasilan banyak resiko, ada benarnya juga.

Seorang pakar psikologi pernah bilang, para sarjana kita ini berotak cupet. Mereka tidak kreatif menciptakan pekerjaan atau menghasilkan banyak uang. Padahal, kesempatan untuk ini sangat terbuka lebar, di mana saja dan kapan saja. Mereka hanya berani mencari pekerjaan meski digaji kecil. Terlebih lagi, mereka ini tidak berani menghadapi resiko. Mereka lebih memilih menghindari resiko daripada hidup berdampingan dengan resiko, atau bahkan mengelola resiko menjadi sesuatu yang menguntungkan.

Salam...
Banjarbaru,
Selasa, 6 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar