Jumat, 23 November 2007

Macet

PASAR TERAPUNG - Pasar terapung Lok Baintan Martapura Kalsel masih eksis hingga kini, bahkan menarik perhatian dunia. Sayangnya, keberadaannya terus gerus oleh perubahan zaman.
Kebudayaan darat telah mencampakkannya hingga ke pinggiran peradaban. Celakanya, masyarakat belum sepenuhnya siap menghadapi budaya darat. Akibatnya, kemacetan dan kecelakaan di jalan menjadi pemandangan yang memilukan di Kalsel.
foto: sigit rahmawan abadi, Oktober 2007

Macet

Seorang lelaki berperut buncit tampak marah-marah. Klakson mobilnya, toyota fortuner, dipencetnya berkali-kali. Tak urung, kejadian itu membuat suasana Jalan Ahmad Yani Banjarmasin yang sudah macet menjadi tambah berisik. Udara panas lengkap dengan debu beterbangan, memambah siang yang sudah panas itu menjadi semakin sumpek dan mengesalkan.



Mendengar klakson bertubi-tubi di belakangnya, si tukang becak yang ada di depan mobil itu tampak gugup. Becaknya yang berpenumpang dua orang dan sarat dengan muatan hingga menjulang tinggi itu terlihat terseok-seok karena dikayuh terlalu cepat tanpa keseimbangan yang memadai. Tampak sekali si tukang becak itu berusaha mengayuh becaknya lebih kuat agar jalannya bisa lebih cepat, tapi tetap saja tidak berpengaruh. Diapun ikut terjebak kemacetan di perempatan jalan yang sama dengan mobil fortuner di belakangnya.

Beberapa detik kemudian, puluhan kendaraan dari arah berlawanan gantian menggeber klaksonnya. Mulai dari sepeda motor, mobil, truk dan bus sama-sama membunyikan klakson. Mereka merasa harus memarahi para pengemudi kendaraan yang masih terjebak di perempatan jalan karena jalur mereka sudah hijau traffic lightnya. Si tukang becak tambah panik, baik dari belakang maupun dari kanan depan yang akan berbelok jalur di sebelah kirinya sama-sama menggencet klaksonnya.

Kejadian seperti itu hampir terjadi tiap hari di Kota Seribu Sungai, Banjarmasin. Lalu lintas di kota yang luasnya tidak lebih dari 20 kilometer persegi ini, sekarang sudah tak terkendali lagi. Pemandangan seperti itu juga pasti sering terlihat sehari-hari di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, Bandung atau Yogyakarta.

Di pihak lain, masyarakat ternyata hanya sebatas bisa menuntut saja. Yang pasti, para penuntut ini adalah para pemilik mobil atau kendaraan jenis lain, karena merekalah yang paling merasakan dampaknya atas kemacetan jalan. Mereka hanya bisa protes kepada pemerintah setempat, dan tentu saja polisi yang bertugas mengatur lalu lintas jalan raya.

Dibilang hanya bisa protes saja, karena para pemilik kendaraan ini jugalah yang menyebabkan terjadinya kemacetan jalan. Mereka hanya bisa protes tanpa pernah menyadari bahwa merekalah sebetulnya penyebab kemacetan itu sendiri.

Melihat ceritera di atas, kalau satu orang naik mobil toyota fortuner berukuran tidak kurang dari 2 X 3 meter, berarti dia telah menghabiskan hampir setengah dari lebar jalan Ahmad Yani Banjarmasin. Artinya, badan jalan yang seharusnya dipakai untuk empat sepeda motor hanya habis dipakai untuk dirinya sendiri. Bayangkan, saat itu di lampu merah ada puluhan mobil, sepeda motor, truk hingga becak. Jika dihitung, tentu saja penyebab utama kemacetan adalah banyaknya mobil berpenumpang minimal.

Memang, pemilik Harrier itu bisa berkilah dengan mengatakan, dia telah membayar pajak tidak kurang dari dua juta per tahun. Dia berasumsi, dengan membayar banyak pajak, tentu dia berhak memakai jalan lebih luas. Tapi yang harus diingat, pengendara sepeda motor juga membayar pajak, tapi pengendara jenis ini tidak terlalu membuat jalanan menjadi macet. Makanya jangan salahkan bila saat terjadi kemacetan pengendara Harrier tidak bisa berbuat apa-apa, sementara sepeda motor bisa menyelip kemana-mana.

Memang, bukan hanya kendaraan besar saja penyebab terjadinya kemacetan. Di Banjarmasin, kemacetan sering disebabkan karena faktor lain, misalnya sikap egoisme masyarakat yang ingin menang sendiri. Bayangkan, seorang pengendara sepeda motor berjalan dengan teramat santainya di tengah badan jalan. Mereka tidak peduli jalanan saat itu sedang crowded. Kejengkelan berkendara di Banjarmasin tidak hanya itu saja. Anda harus ekstra waspada saat melintasi gang-gang kecil, karena bisa-bisa anda tabrakan dengan kendaraan dari dalam gang yang tanpa ba-bi-bu langsung nyelonong ke tengah jalan. Begitu juga dengan pengendara berlawanan arah yang biasa melipir di tepi jalan.

Meski macet sudah menjadi pemandangan sehari-hari, celakanya, upaya penanganannya hanya jalan di tempat. Jumlah pertumbuhan kendaraan yang mencapai 40 persen per tahun di Banjarmasin ternyata tidak mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah setempat. Bahkan, pertumbuhan akses jalan juga hampir nol persen. Akibatnya, kemacetan parah menjadi penyakit akut yang susah disembuhkan.

Anehnya, penyakit kronis ini penanganannya sering salah kaprah. Hampir tak ada pemegang kebijakan yang berani membatasi jumlah produksi kendaraan yang semakin tak terkendali. Celakanya, untuk mempunyai kendaraan kian mudah dan murah dengan semakin menjamurnya lembaga finansial dengan akses yang sangat mudah.

Pemerintah bukannya membatasi jumlah kendaraan yang jelas-jelas membuat kemacetan, justru mengorbankan hal lain. Ribuan hektar sawah produktif, atau sungai-sungai untuk kesehatan lingkungan justru harus diurug untuk pelebaran jalan. Ratusan bahkan jutaan pohon harus ditebang untuk pembuatan jalan baru. Atau penggusuran perkampungan dengan budayanya yang telah hidup dan mengakar di masyarakat selama ratusan tahun untuk proyek jalan layang dan jalan tol. Moda transportasi massal, semacam bus gandeng, bus transjakarta atau kereta api antarkota, memang menjadi salah satu jawaban semakin cepatnya pergerakan masyarakat.

Tapi, pengadaannya sering mengorbankan aspek lain yang justru lebih penting dari sekedar memenuhi keinginan para pemilik mobil yang pongah saja. City car, juga dimaksudkan untuk menghemat penggunaan badan jalan. Tapi, perkembangan mobilitas masyarakat dan pertumbuhan kendaraan dipastikan akan selalu mengalahkan pertumbuhan sarana penunjangnya. Kearifan di jalan, tentu menjadi salah satu solusi yang cukup memadai di tengah berkembangnya budaya borjuis.

Bike to work, menjadi semacam gerakan spiritual yang tidak hanya bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, tapi sekaligus juga ramah lingkungan. Mengerem tingkat perusakan alam semesta yang semakin tua ini.

Banjarbaru, Kalsel
Jumat, 22 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar