Jumat, 04 Januari 2008

bukan orang hebat

Di tengah ketatnya persaingan hidup, di tengah beratnya beban hidup yang menghimpit seperti saat ini, semakin banyak orang yang lepas kendali. Di sisi lain, ideologi kapitalis yang menggelobal dan tidak bisa ditolak oleh siapapun dan dimanapun tempatnya, telah membuat diri ini sering lupa. Lupa diri berarti lupa atau tidak tahu siapa diri atau jati diri sendiri. Dari dua terminologi tersebut, telah menyebabkan diri ini dipaksa mencari sesuatu keluar.


Bila tidak mampu menemukan apa yang dicari di luar, membuat diri ini menjadi mudah stress, mudah mengalami tekanan hidup. Bila telah mampu mencari keluar (baca: kekayaan), tetap saja tidak akan pernah membuat diri ini merasa puas. Jika sudah demikian, hidup akan selalu diliputi kekurangan, keresahan dan ketakutan.

Beruntung bagi manusia yang segera sadar diri. Sadar bahwa kebahagiaan tidak bisa dicari keluar. Sadar bahwa letak kebahagiaan hakiki berada di dalam. Dengan kesadaran itu, setidaknya bisa menghentikan langkah yang telah jauh sekali salah arah. Bagai orang yang tersesat di dalam hutan dan tidak punya kompas, tentu saja sulit menemukan jalan keluar. Tapi bagi orang yang telah siap dengan kompasnya, setidaknya bisa mencari arah yang singkat mencari jalan keluar.

Akibat tekanan hidup itu, telah membuat sebagian besar manusia mencari sandaran hidup. Sandaran yang dicari ada banyak jenis, uang, keyakinan, atau agama. Bagi yang mempunyai penuntun ke arah itu, tentu akan lebih mudah menemukannya. Bagi yang tidak punya tongkat penunjuk, akan tersandung-sandung batu yang bisa melukai kaki ini. Ketika ada seseorang yang menawarkan sandaran, tidak heran langsung banyak mendapat pengikut. Ketika ada seseorang yang mencoba menjadi telinga bagi seseorang yang resah akibat masalah, langsung saja dianggap sang juru selamat.

Sementara bagi yang sedang terserang eforia kebebasan, begitu diajak berbuat onar dengan mengatasnamakan agama atau harga diri, langsung saja bergerak cepat bagai bensin disulut api. Dengan cepat akan menuduh sebagai murtad, sesat atau sesuatu yang dianggap menjijikkan. Padahal, belum tentu mereka melakukan seperti yang dituduhkan. Jika ini yang terjadi, jelas sudah bahwa pemahaman akan keyakinan masih sebatas ritual saja, sebatas melakukan kewajiban saja. Orang yang telah berada pada kondisi keyakinan yang sebenarnya, tidak akan pernah mau mengusik orang lain. Yang ada adalah rasa solidaritas, saling menghormati dan toleransi yang tinggi.

Masuk kedalam memang sulit. Apalagi di jaman seperti saat ini. Tapi beruntung banyak relawan-relawan yang saat ini menyediakan tenaga dan pikirannya untuk itu. Masuk kedalam sini memang bagai mencairkan kerak yang sudah menahun. Harus dimulai dari hal-hal yang teramat kecil dan dilakukan secara konsisten.

Begitu beratnya perjuangan mencari kedalam itu, sampai-sampai Nabi Besar pernah bilang bahwa perang terbesar di dunia ini adalah perang melawan hawa nafsu. Berat karena musuhnya terletak di dalam sini. Berat karena yang dilawan adalah diri sendiri.

Jujur saja, sampai saat ini saya belum mampu mencari ke dalam sini. Meski sudah tahu cara dan pembimbingnya, masih saja sering muncul ego yang ingin ditampakkan. Meski sering mencoba bersedekah memakai topeng, tapi tetap saja topeng ini selalu terbuka pada saatnya tiba. Beruntung jika topeng yang terbuka itu bermaksud untuk mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Terbanyak, terbukanya topeng itu karena ingin dinilai oleh orang lain. Akibatnya, keikhlasan yang selama ini menjadi cita-cita, harus menguap begitu saja.

Saat belum paham tentang arti ikhlas, setiap apa yang saya lakukan selalu harus dinilai baik oleh pihak luar. Padahal, apa yang saya lakukan itu hanya setitik nila di tengah hamparan samudera. Akhirnya, diri ini malah sering merasa seperti orang bodoh. Belum melakukan apa-apa, tapi sudah berkoar melakukan sejuta kebaikan. Belum bisa melakukan hal sederhana sekalipun, tapi sudah mengaku menyelesaikan hal yang besar. Yang ada, diri ini ingin selalu dihormati dan dinilai yang terbaik dari apapun, dari siapapun.

Tapi, tetap saja diri ini harus bersyukur. Setidaknya, kini sering datang sebuah tenaga yang tiba-tiba saja mendorong untuk selalu mengingat saat akan berbuat riak, berbuat kejelekan, atau bahkan berbuat kejahatan. Ada saja tenaga yang mendorong untuk selalu berbuat kebaikan.

Banjarbaru,
Jumat, 4 Januari 2008

2 komentar:

  1. posting yang menyejukkan di tengah hidup yang semakin panas. Terima kasih telah memberi pencerahan.

    BalasHapus
  2. terima kasih mas ariel...

    BalasHapus