Rabu, 09 Januari 2008

perda pemberangus hak sipil

Tiga peraturan daerah (Perda) bernuansa agama di Kabupaten Banjar, Perda Ramadhan (nomor 5/2004), Perda Jumat Khusyuk (nomor 8/2005) dan Perda Khatam Alquran (nomor 4/2004), diminta direvisi. Pasalnya, ketiga perda yang dipandang hanya sebatas simbolik itu dinilai telah membatasi kebebasan sipil, dan bahkan dipandang sebagai pemaksaan kehendak.


Permintaan revisi perda tersebut disampaikan Konsorsium Kebebasan Sipil (KKS) yang diwakili Freedom Institute dan Lembaga Survey Indonesia (LSI), Koalisi Masyarakat untuk Kebijakan Publik (KMKP), serta beberapa elemen masyarakat lainnya kepada Komisi IV Dewan Banjar, Rabu (9/1) di ruang komisi setempat. Rekomendasi revisi perda itu muncul setelah digelar Workshop Perda Bernuansa Agama dan Kebebasan Sipil sehari sebelumnya.

Mahfud dari KKS mengatakan, ketiga perda itu sesuai rekomendasi workshop dianggap telah membatasi kebebasan sipil untuk mencari nafkah dan menjalankan kehidupan pribadinya. Untuk itu perlu segera dievaluasi atau direvisi karena dianggap tidak memperhatikan hak-hak sipil.

"Mestinya tidak terjadi pembatasan hak-hak sipil. Secara tersurat, perda ini cukup diskriminatif. Contohnya saja, dalam Perda Jumat Khusuk, jelas membatasi hak orang sipil, misalnya musafir. Itu tidak dimuat dalam perda tersebut. Selain itu, perda itu juga hanya mengatur orang yang ada di luar masjid saja, lalu orang yang di dalam masjid bagaimana? Apakah ada jaminan perda-perda ini bisa membuat kehidupan lebih baik," kata Mahfud dalam dengar pendapat tersebut.

Gazali Rahman dari KMKP mengatakan, ada hal penting yang harus diperhatikan oleh dewan terhadap tiga perda tersebut yaitu adanya pemaksaan kehendak untuk menjalankan agama oleh negara. "Untuk itu perlu ada kajian lebih lanjut. Dewan harus mengevaluasi apakah ada perubahan di masyarakat sebelum dan sesudah perda itu disahkan," jelas Gazali.

Ketua Komisi IV, Hairuddin mengatakan, perda itu dibuat melalui serangkaian proses pengamatan yang panjang di masyarakat. Dewan sudah melakukan survey di masyarakat baik sebelum maupun sesudah perda itu digulirkan.

Anggota Komisi IV, Hindun Normayani mengucapkan terima kasih atas masukan dari KKS. Dia bisa memahami pro kontra terhadap sebuah aturan yang dibuat. Hanya saja, untuk membuat perda itu, dewan sudah melakukan proses hingga enam tahap, termasuk studi banding dan pelibatan pihak ahli. "Jika ada pro dan kotra itu memang resiko sebuah aturan. Yang jelas, ada tahapan yang sudah kita lalui dalam penyusunan perda itu. Untuk menyusun perda itu, perlu ada keberanian secara politis dengan memperhatikan situasi dan kondisi di masyarakat," jelas Hindun menambahkan, pihaknya terus mengawal pelaksanaan perda itu di lapangan.


Anggota komisi IV lainnya, Syarkawi mengakui ada gap antara judul dan isi perda-perda tersebut. Tapi yang perlu diperhatikan adalah tujuan dari perda itu sendiri, yaitu adanya asas manfaat di masyarakat. "Kita akan terus evaluasi, jika hasilnya membuat masyarakat lebih baik, akan kita teruskan. Tapi jika tidak ada perubahan kearah yang lebih baik, ya kita bubarkan saja. Tapi kita tetap sepakat jika suatu saat nanti harus ada revisi perda tersebut," kata Syarkawi.

* * *

Kemunculan tiga perda itu memang banyak mengundang tanya, terutama di kalangan akademisi. Bagaimana mungkin keyakinan masyarakat harus diatur oleh sebuah aturan negara, sebuah hukum positif. Padahal, urusan keyakinan adalah urusan pribadi dengan Tuhannya, bagaimana mungkin daerah bisa memaksakan kehendaknya kepada rakyatnya agar mengikuti kemauan penguasanya?

Di sisi lain, dalam pelaksanaanya memang sering terjadi kontradiktif. Dalam perda jumat khusuk misalnya, yang diatur hanya orang-orang yang mengendarai kendaraan yang kebetulan melintas di depan masjid saat berlangsung sholat Jumat. Orang naik motor melintas di depan masjid dianggap mengganggu sholat jumat, sementara yang jumatan sering tidur atau ngobrol dengan temannya.

Begitu juga dengan Perda Ramadhan yang melarang orang berjualan dari pagi hingga sore hari, sekitar pukul 15.00 Wita. Lalu bagaimana dengan orang yang sakit, atau berhalangan tidak berpuasa dan ingin makan? Lalu, kalau tidak boleh berjualan selama sebulan penuh, keluarga pemilik warung harus bagaimana? Memang mereka boleh jualan saat sore hingga larut malam, tapi apa menjamin mereka akan mendapat penghasilan mengingat banyak pesaing seperti warung tiban saat ramadhan.

Begitu juga dengan perda khatam alquran. Siapa yang berhak menilai atau mengetahui seseorang telah khatam atau belum. Terlebih lagi, apakah betul orang yang tidak khatam Alquran bisa mengganggu kepentingan masyarakat sehingga harus dihukum? Betulkah orang yang khatam alquran kelakuannya akan lebih baik daripada yang tidak. Bukankah semua pejabat yang korupsi, saat dilantik juga disumpah di bawah kitab Alquran. Tapi toh, mereka tetap saja korupsi, makan uang rakyat, mengambil jatah uang rakyat. Masih mending kalau koruptor berhasil dipenjara, kalau lolos? Kalau mereka menyogok polisi, hakim dan jaksa menggunakan uang rakyat juga, kan celaka.

Kalau boleh berpikir positif, memang perda itu bertujuan untuk kebaikan, untuk perbaikan masyarakat. Tapi, alangkah kebih baik jika aturan itu dibuat sehingga membuat masyarakat menjadi sadar diri. Membuat masyarakat merasa malu untuk berbuat salah, dan merasa terdorong untuk selalu melakukan kebaikan. Bukankah urusan keyakinan itu urusan pribadi, yang seharusnya hanya diri pribadi dan Tuhannya yang tahu. lalu kenapa harus dihukumpositifkan?

Banjarbaru
Rabu, 9 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar