Selasa, 25 Desember 2007

celometan

Beberapa hari lalu aku ketemu kawan lama. Tidak ada yang berubah dengan penampilan maupun tingkahnya. Masih tetap keras seperti saat masih kerja di tempat yang sama. Padahal, dia harus resign dari kantor lama karena sikapnya yang keras itu. Kini, dia pindah ke kantor baru dengan jenis pekerjaan yang sama, sebagai reporter. Dia merasa, pendapatnya harus dipertahankan sampai kapanpun dan apapun yang terjadi.


Saat masih satu tempat kerja, kami sering sekali berdiskusi, berdebat hingga berjam-jam tentang apa saja. Tentang agama, tentang pekerjaan, tentang olah raga, pemerintahan, korupsi, atau apa saja yang terlintas saat itu. Tapi karena sikapnya yang keras itu pula, dia sering dikeroyok debat orang sekantoran. Ujung-ujungnya, dia harus marah-marah. Sementara, kawan-kawan lain yang tujuan awalnya memang hanya iseng mengomentari, hanya cengar-cengir saja.

Kawan yang satu ini, suka sekali berdebat tentang agama. Apapun yang dibahas, selalu dikaitkan dengan agama. Padahal kami, kawan sekantoran tahu persis bahwa pengetahuannya tentang agama (maaf) pas-pasan. Atau kalau tidak, dia hanya tahu bagian preambulenya saja. Hal itu terbukti dari cecaran pertanyaan kritis yang pada akhirnya tidak bisa dijawabnya. Akibatnya, dia terjebak pada logika berpikir yang salah.

Sikapnya yang sok agamis itu, terus terang sering membuat kami jengkel, tapi terkadang kami merasa iba juga. Bukan apa-apa, karena dengan sikapnya yang ngeyel tanpa pondasi logika yang jelas itu, sering membuat dia harus berposisi pada situasi yang sulit. Bagi orang yang tidak bisa menerima sikapnya, biasanya langsung membikin jarak, atau bahkan menyerangnya secara terbuka.

Begitu juga saat ketemu terakhir kali, beberapa hari lalu. Dia masih juga keras seperti sebelumnya, hampir tak ada perubahan. Menurutnya, lagi-lagi membawa label agama, “Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda,” katanya. Perbedaan itu tidak untuk diubah, tapi untuk dijalankan. Jadi, dengan argumennya itu dia ingin menyatakan, “biarlah saya keras seperti ini, dan jangan coba-coba mengubah saya, karena saya memang diciptakan untuk jadi keras.”

Tapi lucunya, baru saja dia ngomong seperti itu, dia sudah meminta kawan saya untuk mengikuti kemauannya (nah lho). Saat itu dia bilang, seorang wartawan harus tegas. Bila ada penyimpangan harus dibabat habis tanpa kompromi. Jadi, dia menyuruh kawan saya untuk bersikap tegas terhadap apa yang dilihat dan dirasakan di lapangan. Kawan saya yang tidak biasa berdebat ini hanya bisa cengar-cengir sambil menahan kejengkelan. Tapi untungnya, dia sudah kenal banget dengan sikap kawan saya yang keras (kepala) itu.

Dengan gayanya yang meledak-ledak, kawan saya yang satu ini terus menguliahi kawan saya yang satunya lagi. Saat itu saya hanya diam saja, tidak mau ikut berpolemik atau turut memperdebatkan sesuatu yang menurut saya tak perlu ditanggapi secara serius. Lagi-lagi, dia menyuruh kawan saya untuk menindaklanjuti temuannya di lapangan. Padahal menurut kami, apa yang ditemukannya tidak bisa dipertanggungjawabkan sepenuhnya, alias hanya selentingan orang yang tidak jelas sumbernya. Apa yang ditemukannya itu hanya gosip saja.

Karena mungkin kawan saya sudah jengkel, dia bilang terus terang bahwa apa yang dikabarkannya itu tidaklah benar, karena dia sudah pernah menyorot hal itu. Terlebih lagi, kawan saya bilang, kalau memang tahu informasi seperti itu kenapa tidak ditindaklanjuti sendiri, kan sama-sama wartawan. Mendapat lontaran seperti itu, kawan saya yang keras bilang, dia sudah berusaha menulis, tapi redakturnya tidak mau merespon. Dalam sedetik berikutnya, sumpah serapah dan kejengkelannya seputar kantor dan pekerjaannya ditumpahkan kepada kami. Sambil mengisap rokok, kami mendengarkan ocehannya hingga tuntas. Tentu saja, kami sambil cengar cengir saja.

Setelah merasa cukup mendengarkan ocehan itu, kawan saya bilang “sama seperti kantor kamu, aku juga pernah nulis masalah itu, tapi tidak direspon redaktur saya.” Mendengar itu, kawan yang keras tadi tambah panas. Dia terus mengucapkan keluhan dan protesnya, hingga berniat mendirikan media sendiri untuk mengungkapkan uneg-uneg dan keluhannya.

Pada saat itulah, karena kawan saya sudah tidak tahan lagi, dia dengan enteng mengatakan, ”sebaiknya memang kamu mendirikan media sendiri. Sehingga kamu bisa menumpahkan uneg-uneg tanpa diedit atau dibuang ke tempat sampah oleh redaktur kamu.”

Dalam kehidupan, apalagi di jaman ekonomi sulit seperti sekarang ini, kita memang sering kali menemukan orang-orang seperti ini, keras kepala. Kalau hati sedang mood, mungkin orang seperti ini bisa jadi sparing partner untuk berdebat, dan kalau temanya pas asyik, tentu bisa menyenangkan. Tapi terkadang kalau kita lagi badmood, tentu saja bisa bikin kacau suasana.


Kompleks Buncit Banjarmasin,
Selasa, 25 Desember 2007

4 komentar:

  1. betul bos, emang banyak banget orang2 seperti itu, dan celakanya, mereka menjengkelkan

    BalasHapus
  2. terima kasih mas agus udah mampir lagi.. kemana aja liburan...

    BalasHapus
  3. heeh... aku kenal siapa yang pian tulis pak...

    BalasHapus
  4. wah, aku gak mau ikut ikutan ahhhh...

    BalasHapus