Kamis, 13 Desember 2007

obrolan di warkop

Ngobrol di warung kopi sambil makan wadai (jajanan) pagi ini terasa nikmat. Bukan cuma tema obrolannya yang selalu uptodate, tapi lebih karena anggota komunitas pagi ini yang terasa lebih lengkap. Ada PNS, polisi, kuli bangunan, wartawan dan pedagang.

Memang, tiap pagi, di warung kopi belakang Pemkab Banjar ini selalu ramai oleh orang-orang yang suka ngopi pagi. Awalnya saya agak risih juga pagi-pagi banyak PNS sudah nongkrong di warung. Tapi setelah sekian lama ikut arus, saya jadi paham bahwa kopi pagi plus kue di warung menjadi santapan wajib bagi orang Martapura, dan mungkin sebagian besar orang Banjar (baca: Kalsel).

Warung ini tidaklah besar. Dikatakan warung, sebenarnya juga tidak, karena hanya terdiri dari meja dan sejumlah bangku panjang. Tidak ada dinding penutup yang menandakan tempat itu sebagai sebuah warung. Untuk menghindari panas dan hujan, bagian atapnya ditutup seng apa adanya. Sebagian atap lain hanya ditutup spanduk yang dililit empat tali.



Ketika saya datang, para panelis diskusi tanpa moderator itu rupanya sudah panas oleh tema pagi ini. Apalagi kalau bukan kelangkaan bensin, solar dan minyak tanah di Kalsel beberapa hari terakhir. Beragam pendapat muncul dalam debat kusir ini. Ada yang ngotot, ada yang dominan, ada yang terus menerus kalah debat, tapi ada juga yang pandai mengambil celah untuk mengemukakan pendapat.

Pemilik warung, atau yang biasa disapa Acil, meski telah mengikuti debat pagi itu sekitar dua jam, tampak masih belum bisa menahan kegundahannya. Gara-garanya, harga minyak tanah di kampungnya mencapai Rp 5000 per liter. Padahal, tanpa minyak tanah itu, bisa-bisa dia tidak jualan dan tidak masak untuk keluarganya.

Tak peduli latar belakang yang terjadi seputar kelangkaan BBM itu, dia langsung mengatakan, pemerintah saat ini tidak bisa mengurus rakyat. Karena, semua harga barang saat ini mahal. Hal ini, jelas menyulitkan masyarakat yang tidak punya gaji tetap. Dia juga mengaku tak habis pikir, bagaimana mungkin harga minyak tanah yang dulu hanya dipakai sebagai bahan pengoplos bensin atau solar, kini harganya lebih mahal dari bensin?

Yang PNS, sebagai kepanjangan tangan pemerintah, meski tidak sepenuhnya bisa menerima kebijakan pemerintah ikut nimbrung. Menurutnya, kelangkaan BBM itu terjadi bukan karena pemerintah, tapi akibat permainan tingkat tinggi di tubuh Pertamina. Rupanya sebelum nongkrong, dia sudah baca berita di koran yang memberitakan penangkapan satu kapal pembawa minyak yang akan diselundupkan keluar Kalsel.

Seorang polisi yang sejak awal hanya terlihat senyum-senyum tak bisa menyembunyikan perasaannya. Menurutnya, sebetulnya polisi sudah lama mencium adanya penyelewengan penyaluran BBM di Kalsel, tapi baru bisa menangkap basah kemarin.

Seorang rekan wartawan, yang rupanya cukup akrab dengan polisi ini menyeletuk. Menurutnya, sebetulnya polisi bisa saja menangkap aktor-aktornya sejak awal karena sudah lama mencium gelagat mencurigakan itu, tapi karena ada permainan terlarang, akibatnya penangkapan itu selalu dibatalkan. Baru setelah semua orang ngomong dan masyarakat protes keras, polisi bertindak agak cepat.

Yang membuat saya trenyuh adalah komentar seorang kuli bangunan yang kebetulan belum memulai kerjanya menggarap proyek mushala Pemkab Banjar di samping warung itu. Dia tidak mau mengomentari seputar perdebatan itu. Dia, sejak awal juga tidak mau terlalu larut dalam perdebatan tersebut. Karena pagi itu dia belum sarapan, dia hanya ngopi dan makan pisang goreng. Saat itu, dia hanya bilang, apapun yang terjadi, upah yang diterimanya harus cukup untuk membeli kebutuhan.

Dengan upah sebesar Rp 30 ribu perhari ternyata dia merasa cukup tenang menjalani hidupnya. Datang ke tempat kerja menggunakan sepeda onthel, dia tidak perlu repot membeli bensin yang kian langka. Sarapan dua pisang goreng plus kopi, dia tidak perlu lagi membeli minyak tanah yang sedang mahal. Istri di rumahnya juga masak menggunakan kayu bakar yang dicarinya di hutan dekat rumahnya.

Saya jadi teringat dua sahabat saya di kantor. Dua orang ini cukup akrab, meski tiap hari selalu berbeda pendapat. Sahabat yang satu, tiap hari selalu tersenyum dan tertawa. Dia juga terkenal bisa membuat orang-orang kantor menjadi tertawa meski sedang diguncang masalah sekalipun. Sementara sahabat yang satu selalu protes, apapun yang terjadi, baik yang menimpa dirinya maupun orang lain.

Suatu saat, sahabat yang suka protes ini bilang, "Wah, kamu ini tiap hari hidup santai terus. Kayak gak punya dosa saja. Pikir tuh anak istri di rumah," katanya.

Sahabat yang satu, yang terkenal santai ini, menjawab komentar itu dengan santai pula, "Lho, emangnya kenapa harus mikir anak istri di rumah. Yang saya tahu, saat berangkat ngantor, anak istriku sedang main-main di dekat rumah. Mereka juga santai saja tuh, gak ada masalah," kata sahabat ini.

Setelah dipikir, benar juga komentar satu sahabat ini. Hidup memang susah, tapi jangan lagi dibuat susah. Kalau orang tidak punya duit, dan harus resah memikirkan diri yang tidak punya duit, berarti susahnya ada dua. Tapi bila tidak ada duit, tapi selalu bahagia apapun keadaannya, berarti susahnya hanya satu, tak punya duit saja. Bahkan, jika selalu bahagia dalam segala keadaan, satu kesusahan akibat tidak punya duit bisa ikut hilang. Karena, jika seseorang sudah bahagia, berarti tidak lagi punya masalah, termasuk tak punya duit.

Guru kejernihan, Gede Prama mengatakan, kesejahteraan memang terkait dengan uang, tapi yang paling utama tidak disebabkan oleh uang. Wajah kesejahteraan selalu ganda, material dan transendental. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Berlimpah materi saja menyebabkan orang kaya tapi tidak bahagia, kering. Sementara bahagia tanpa uang biasanya sulit diwujudkan, dan sering goyah oleh keadaan. Dengan apik Gede mengatakan we can prosper at any level of income.

salam,

Banjarbaru, Kalsel
Kamis, 13 Desember 2007

2 komentar:

  1. wah itu jelas bisa kalo pas masih single, waktu kuliah dikasi uang jajan cuma 1500, kalo naik motor abis buat beli bensin mending naik bis tar cari tumpangan baliknya. Klo duitnya abis ya tidur kampus. tp klo skrg ga punya duit yang paling sedih pas liat anak/istri hiks.... cari duit ...cari duit... cari duit... he..he.
    lumayan lah pak, paling nggak klo pas kepepet aku ingat tulisan ini, markazii

    BalasHapus
  2. hahaha... ngeling-elingke wae jaman kuliah. yen lagi ra duwe duit, sregep dolan ning omahe pak gundul. Biasane ditukukokke pecel karo bunda...

    BalasHapus