Jumat, 07 Desember 2007

Syukur

Tak ada hal yang lebih membahagiakan selain terus mensyukuri nikmat Illahi. Jujur saja, saya baru bisa menikmati hidup ini tiga tahun terakhir dalam hidup saya, terlebih lagi enam bulan terakhir. Dan setelah saya rasakan secara betul-betul, ternyata kebahagian itu muncul pada tiap detik kehidupan saya, dan saya berharap juga terjadi pada detik-detik berikutnya.

Rasa itu, muncul bukan karena saya telah kaya saat ini, bukan pula karena hidup saya menderita sebelumnya. Bukan pula saya tidak mendapat bimbingan Illahi selama ini. Tidak sama sekali. Tapi lebih karena banyaknya tangan-tangan Tuhan yang turut campur dalam setiap hela napas saya saat ini.



Tangan-tangan Tuhan itu semakin terasa membimbing saya akhir-akhir ini, justru ketika saya mulai melepas semua ego saya. Tangan itu sangat terasa membimbing ketika saya mulai mengubah orientasi dari kehidupan materialistik ke arah kesejukan, kedamaian.

Ketika saya meniatkan diri ini ke arah kedamaian itu, selalu saja ada yang menuntun saya ke arah ini. Datang ke toko buku, ada yang membimbing saya menemukan buku-buku bagus tentang perjalanan ke dalam. Makan di warung, ada saja obrolan yang menyejukkan hati. Naik motor, turun hujan yang membuat bumi ini menjadi terasa sejuk. Pulang dari kerja, ketemu si Re yang kini mulai lucu tingkahnya karena mulai bisa ngomong. Dan seketika itu, kejenuhan, rasa capek, sumpek, segera berganti dengan keceriaan. Canda tawa anak-anak, keriangan surgawi.

Memang betul, banyak ustadz mengatakan, kalau kita mensyukuri nikmati Illahi, niscahya nikmat itu akan dilipatgandakan. Bila kita rajin bersedekah, pastilah rejeki kita akan ditambah. Bila kita sering bersilaturahmi, umur dan saudara kita akan ditambah. Bila kita rajin menjeguk orang sakit, selain meringankan beban orang sakit juga membuat kita semakin memerhatikan kesehatan kita.

Saya teringat saat meliput persidangan, Kamis, 6 Desember 2007 di PN Martapura. Di sela menunggu sidang seorang anggota dewan Banjar yang kesandung kepemilikan kayu ulin tanpa dokumen, saya termenung di ruang tunggu. Udara panas, sumpek. Sama seperti meliput agenda sidang lainnya yang memuakkan karena jaksa dan hakim yang seenaknya sendiri dalam menentukan waktu persidangan. Belum lagi serangkaian tabiat mereka yang memuakkan karena memainkan peradilan dengan sistem petak umpet dan tawar menawar.

Tiba-tiba saja mobil tahanan milik PN Martapura datang, parkir tepat di depan pintu kantor berlambang timbangan, yang mudah-mudahan tidak berat sebelah ini. Pintu mobil berkerangkeng itu dibuka, tiga orang berpakaian putih celana hitam (terdakwa) turun dari mobil dikawal dua polisi dan satu orang petugas PN. Dua orang terdakwa diborgol tangannya menggunakan satu borgol. Biasanya bila ada satu terdakwa akan diborgol kedua tangannya.

Tapi kemarin tidak, satu terdakwa tidak diborgol. Justru dia diberi kesempatan menggendong anak perempuannya yang berusia sekitar tiga tahun. Anak perempuan ini sudah sejak pagi menunggu bapaknya yang akan disidang. Anak ini datang ke PN bersama ibu dan keluarganya sejak pagi. Karena saking kangennya, keduanya saling berpelukan, saling mencium dan memeluk erat.

Begitu bapaknya dibawa masuk ke ruang tahanan sementara milik PN, anak kecil ini terus memanggil bapaknya. Dia tidak mau berpisah dengan bapaknya. Bahkan ketika ibunya mencoba membawanya pergi, anak kecil ini terus menghiba, memanggil-manggil bapaknya. Dia tidak mau dipisah dengan bapaknya. Anak kecil ini terus meronta sehingga membuat beberapa orang di kantor PN menjadi ikut iba.
Suara tulus seorang anak perempuan berusia tiga tahun ini, yang telah kangen dengan bapaknya, ternyata mampu menyihir situasi di tempat itu.

Situasi itu membuat dada saya terasa sesak. Ribuan pertanyaan mengalir secara otomatis dari pikiran saya. Kenapa ini bisa terjadi. Kenapa dunia anak sekecil ini, yang seharusnya beraroma surga, harus dikorbankan demi sebuah kehidupan orang-orang dewasa. Surga anak-anak yang harus terampas oleh sesaknya dunia orang-orang dewasa.

Syukur. Kata ini tiba-tiba saja terlontar dari benak saya. Bersyukur karena masih bisa bercanda bersama keluarga di rumah. Syukur karena ternyata hati ini masih mudah tersentuh oleh hal-hal yang demikian. Syukur karena diberi kehidupan yang indah ini. Syukur karena masih diberi kesadaran untuk bersyukur...

salam,

Banjarbaru, Kalsel
Jumat, 7 Desember 2007

4 komentar:

  1. wah, seneng pak gebe masih suka baca-baca uneg-uneg dari seberang, tks a lot pak gebe...

    salam buat anak istri. Buku erbe sentanu, quantum ikhlas bagus banget pak gebe, gak rugi beli...

    BalasHapus
  2. quantum ikhlas ya.. nanti tak beli,
    tq

    BalasHapus
  3. Iyo pak gebe. Bukunya lebih bagus dari psiko sybernetik, selain lebih lengkap juga memberi pemahaman dan panduan praktis...

    Setelah teman-teman di sini aku kabarin, di gramedia Banjarmasin langsung ludes

    BalasHapus