Minggu, 16 Desember 2007

silakan beri judul sendiri

Nglilir pukul 02.30 Wita pagi ini, badan terasa segar. Sejenak, diri ini mengucap syukur. Alhamdulillah, saya nglilir, yang artinya saya baru saja bangun dari tidur, tidur lelap sejak pukul 23.00 Wita. Bersyukur karena saat ini banyak orang sulit tidur, banyak orang berharap bisa tidur nyenyak tapi tidak bisa, banyak orang tidak bisa tidur karena mengalami serangkaian masalah duniawi. Masalah hutang, masalah kerjaan, perseteruan tanpa ujung, ancaman dan serangkaian tindakan yang tidak mengenakkan lainnya.

Ya, masalah duniawi, masalah yang sering membelenggu sisi kemanusiaan kita. Saat ini, sangat jarang orang tidak bisa tidur karena memikirkan masalah akhirat. Kalaupun ada orang pada situasi seperti ini, karena memang sengaja tidak tidur untuk menjalankan ibadah malam. Tindakan yang disengaja, apalagi yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, pastilah sungguh nikmat terasa, dan tanpa beban.



Bicara tidak tidur, pada detik ini pastilah banyak orang yang sedang tidak tidur. Hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal saya di Kompleks Buncit Banjarmasin berdiri sebuah diskotek superbesar. Dan saat ini, masih terdengar bunyi housemusic menghentak dari sana. Saya yakin ada ratusan orang di ruangan itu yang tidak tidur. Banyak orang yang masih segar bugar di tempat itu karena pada dinihari ini mereka masih menggeleng-gelengkan kepalanya. Serombongan orang yang mencoba mencari kenikmatan duniawi, kenikmatan semu, sebuah pelarian dari masalah.

Teringat hari kemarin, saya bertemu dengan orang-orang yang luwar biyasa. Nongkrong di warung Pemkab Banjar pagi hari, saya menemukan sejumlah orang bermuka masam, yang lainnya keningnya berkerut. Sumpah serapah dan uneg-uneg mengalir enteng. Yang satu protes harga minyak tanah yang telah mencapai Rp 5000 perliter yang artinya lebih mahal dari harga bensin di SPBU. Yang lainnya mengeluh karena bensin dan solar langka sehingga harus ngantre berjam-jam di SPBU hanya untuk mendapat dua liter bensin saja. Mereka mengeluh karena harganya mencapai Rp 6000 – 7000 per liternya di tingkat eceran. Sudah satu bulan ini solar langka di Kalsel, dan sudah seminggu terakhir bensin dan minyak tanah yang menyusul langka.

Obrolan semakin berkembang, keluhan semakin menjadi-jadi. Mulai pagi kemarin hingga seminggu kedepan, aliran air PDAM di Banjarbaru dan Martapura akan tersendat-sendat. Alasannya, PDAM sedang membersihkan gulma yang ada di sungai Riam Kanan Martapura yang selama ini dijadikan sebagai sumber air baku. Tidak itu saja, pemadaman bergilir yang dilakukan PT PLN sebulan terakhir, yang sebetulnya sudah mulai bisa dilupakan, kemarin diungkit-ungkit lagi. Katanya, banyak peralatan elektronik yang rusak karena aliran listriknya tidak menentu. Mereka menyayangkan sikap polisi yang menangkap satu demonstran saat melakukan aksinya di kantor PT PLN.

Siang hari saat sholat Jumat di sebuah masjid, seorang imamnya ikut-ikutan mengeluh. Dengan serangkaian nada protes, dia mengingatkan para pemimpin di perusahaan-perusahaan milik pemerintah itu untuk bekerja secara benar, bekerja profesional agar tidak menyengsarakan rakyat. Sang imam juga mengingatkan para pimpinan perusahaan pemerintah itu agar ingat bahwa jabatan yang diberikan kepadanya adalah amanah yang harus dijalankan, dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Selepas sholat, saat makan siang di sebuah warung, serangkaian nada protes kembali mengemuka. Masalah yang dibahas masih tetap sama. Keluhan yang mengemuka juga masih sama, seputar yang itu-itu juga. Jika pada pagi hari nada protes dilakukan cukup keras karena mungkin masih banyak energi, pada saat makan siang itu, kebanyakan pemrotes tidak lagi berapi-api dalam mengungkapkan uneg-unegnya.

Menjelang tidur, saya menarik napas panjang. Memikirkan yang saya alami seharian tadi. Serangkaian peristiwa yang cukup menyesakkan dada. Memutar CD digital prayer, membuat batin ini terasa begitu sejuk, menenangkan, melapangkan. Keikhlasan memang membebaskan. Melepaskan diri dari ketegangan dan serangkaian masalah. Meski masalah-masalah yang dihadapi orang-orang itu juga saya alami, tapi entah kenapa saya tidak merasa sesesak yang mereka rasakan, ikhlas. Hingga tanpa terasa saya sudah terlelap, sama seperti hari-hari sebelumnya, selalu terlelap saat mendengarkan alunan CD digital prayer itu.

Nglilir pagi ini, saya teringat masa kecil dulu. Awal tahun 70-an, di desa saya belum ada listrik. Hanya ada satu televisi di desa saya, yaitu milik Pak Lurah. Meski hanya 17 inchi, televisinya cukup besar, karena ada kotaknya yang terbuat dari kayu. Kotak televisi itu disangga empat kaki setinggi 50 sentimeter. Layarnya hitam putih, mereknya Arjuna keluaran National. Untuk menyalakannya diperlukan accu yang cukup besar. Accu itu hanya cukup bertahan tiga hari saja, dan harus dicarge di kota yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari desa saya.

Tiap malam Minggu, rumah Pak Lurah selalu ramai karena ada siaran ketoprak yang merupakan acara favorit warga desa. Pemain ketoprak yang saat itu cukup terkenal namanya Gito Gati, kakak beradik asli Yogyakarta. Terakhir kali, saat masih jadi wartawan Bernas, tahun 2002, saya sempat mewawancarai mbah Gito yang ternyata sudah terserang stroke.

Saya masih ingat, kalau nonton ketoprak ke rumah Pak Lurah, saya selalu digendong ayah saya. Kami nontonnya beramai-ramai seluruh keluarga, hal ini juga dilakukan tetangga yang lainnya. Tapi kejadian itu hanya berlangsung tiga bulan saja karena ayah saya akhirnya membeli televisi dengan merek yang sama. Harga belinya saat itu saya tidak tahu, tapi saat televisi yang seingat saya tidak pernah rusaak itu dijual pertengahan 1990-an, hanya laku seharga Rp 100 ribu. Pembelinya seorang pedagang kulit ular di desa saya.

Mengingat masa kecil sungguh mengasyikkan. Meski tidak ada listrik, kami tidak pernah protes. Dulu kami tidak pernah mengeluhkan harga minyak tanah karena saat itu masih berlimpah dan belum ada permainan dari para cukong. Kami juga tidak pernah mengeluhkan harga bensin karena kami tidak punya motor. Juga, kami tidak pernah mengeluhkan aliran air PDAM yang macet karena sumur kami sangat berlimpah air bersih, dan untuk mengambilnya tidak perlu berlangganan, cukup ditimba saja. Tidak hanya itu, air sungai di desa saya masih sangat berlimpah dan sangat jernih.

Zaman dulu, memang beda dengan sekarang. Standar hidup, standar materi, standar religi, dan kadar keikhlasan sudah berubah. Seorang bijak mengatakan, seseorang tidak bisa hidup ke masa lalu, tapi seseorang bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Bila dulu kami bisa menikmati hidup bahagi tanpa listrik, tanpa bensin dan solar, tanpa berlangganan PDAM, kenapa sekarang harus pusing?

salam,

Kompleks Buncit Banjarmasin,
Sabtu, 14 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar